Kamis, 14 April 2011

Membuka Hati (Padmajaya)

:________________________________________

Hati adalah :
- Kunci hubungan kepada Tuhan YME
- Pusat ketenangan
- Pusat kedamaian
- Pusat kebahagiaan sejati
- Kunci kesehatan fisik, mental dan emosional
- Kunci kemajuan spiritual dalam hal ini spiritual= pendekatan diri kepada Tuhan YME dengan membuka hati dan pasrah kepadaNya dalam hidup sehari-hari
spirit = diri sejati yang berada di dalam hati
spiritual = mengandalkan hati & berkat Tuhan YME
Dengan Hati yang terbuka kepada Tuhan YME maka :
- kita menjadi lebih dekat kepada Tuhan YME
- Berdoa kepada Tuhan dari hati
- Melakukan perbuatan baik kepada sesama dengan kasih
- Mensyukuri berkat Tuhan lebih baik
- Lebih pasrah
- Jauh dari stress
- Ringan, tenang, damai dan bahagia
- Sehat secara mental, fisik dan emosional
- Mengenali kebenaran sejati

Hati itu apa ?
- Pusat perasaan karena diri sejati kita yang adalah dzat dari Sang Pencipta berada di dalam hati
- Kunci hubungan kepada Tuhan YME, karena keberadaan diri sejati yang adalah dzat Sang Pencipta didalam hati. Otak dan tubuh fisik hanyalah sesuatu yang bersifat sementara
- Pusat penerimaan berkat Tuhan YME
- Pusat ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan sejati yang berasal dari berkat Tuhan YME yang diterima oleh hati
Hati terletak pada rongga dada... di dalam rongga dada terdapat cakra jantung didalam cakra jantung terdapat hati didalam hati terdapat sir... di dalam sir terdapat hati nurani
Mengapa hati yang sedemikian penting tidak dipergunakan secara maksimal ??
- Pendidikan yang kita dapati selama ini lebih mengarahkan kita kepada pendidikan untuk otak (seperti pelajaran matematika, fisika, ilmu bumi dll)
- Dalam hidup sehari-hari, hampir setiap saat kita mempergunakan otak dan jarang sekali mempergunakan hati (itupun kalau ada)
- Setiap kali kita mempunyai emosi negatif seperti marah, sedih, takut, kecewa dan sebagainya kita mengotori hati kita
- Dengan semakin banyaknya kotoran yang menumpuk didalam hati, maka hati akan semakin tertutup
- Setiap kali kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati, maka hati akan menjadi semakin lemah


Mengapa Hati selalu mengenali kebenaran ??
- Karena hati sangat Khusus. Hanya Tuhan YME dan kita sendiri yang dapat mengAKSES hati kita oleh karena itu :
a. hanya kita yang dapat mengotori hati kita
b. hanya Tuhan YME yang dapat membersihkan dan membuka hati kita
- Tidak ada mahluk lain yang manapun yang dapat mengakses hati kita, termasuk malaikat, maupun mahluk suci/agung lainnya
- Oleh karena tidak ada mahluk lain yang dapat mengakses hati kita, maka tidak ada yang dapat mempengaruhi hati kita sehingga hati selalu mengali kebenaran
oleh karena itu janganlah kita takut untuk membuka hati.
catatan : Hati mengetahui kebenaran, tetapi bukan kebenaran sejati. Hanya HATI NURANI lah yang mengenali KEBENARAN SEJATI.


Berikut adalah Proses Membuka hati yang saya dapatkan di padmajaya : (mohon maaf mungkin saya tidak bisa menshare seluruh nya satu persatu) :) :
- Lebih mengenal hati
- Lebih mengenal hati / perasaan dan otak/pikiran
- Menguatkan hati
- Mengurangi dominasi otak
- Membuka hati dengan meditasi buka hati
- Menyadari berkat Tuhan YME di dalam hati
- Mengandalkan berkat Tuhan YME di dalam hati saat berdoa dan dalam hidup sehari-hari
- Membiarkan hati lebih dominan dalam hidup sehari-hari
- Memperoleh kebenaran dari hati
- Memanfaatkan hati untuk mengandalkan berkat Tuhan dalam hidup sehari-hari
- Membuka hati lebih lanjut kepada Tuhan YME
- Mengarahkan hati lebih baik kepada Tuhan YME
- Membuka gerbang Illahi lebih baik
- Membuka saluran ke hati lebih baik
- Membersihkan dan membuka hati lebih lanjut
- Masuk ke dalam hati
- Berdoa kepada Tuhan YME dari dalam hati
- Masuk ke dalam Hati nurani
- Menyadari kebenaran sejati dengan Hati Nurani
- Mengandalkan Berkat Tuhan lebih lanjut
- Membagikan Berkat Tuhan kepada sesama
- Persiapan hidup untuk mendekatkan diri kepada Tuhan


Hati&Perasaan VS Otak&Pikiran
Otak&Pikiran :
1. Mempergunakan salah 1 dari kelima indra
2. Berpikir
3. Mencari
4. Berusaha
5. Apabila terlalu banyak dipergunakan otak akan menjadi lebih kuat dan lebih berat
Hati&Perasaan :
1. Merasakan dengan hati
2. Menyadari
3. Menyadari
4. Santai, senyum dan mengandalkan Berkat Tuhan
5. Semakin digunakan semakin indah dan nikmat
EMOSI :
Marah,benci kesedihan ..... semakin diikuti semakin menjadi-jadi, semakin merusak perasaan dan suasana hidup
Dengan semakin kuat dan terbukanya hati, emosi-emosi negatif akan berkurang dan tidak mudah dipengaruhi oleh emosi negatif
Catatan :
- Berlatih hati, tidak membutuhkan bakat dan setiap orang mempunyai hati, jadi setiap orang akan bisa
- Tetapi, sebagian orang terkadang jarang sekali mengandalkan hati&perasaan dalam hidup sehari-hari ( mengandalkan emosi tidak sama dengan perasaan), maka terkadang akan butuh sedikit waktu untuk dapat merasakan perasaannya
- Adalah sangat umum apabila dalam beberapa latihan pertama anda tidak merasakan apapun. Apabila ini terjadi:
1. Janganlah membuka mata atau menghentikan latihan
2. Janganlah berusaha memperhatikan atau mendengarkan keadaan sekeliling
3. Tetap santai dan mengikuti latihan yang sedang dilakukan, maka secepat otak santai perasaan akan dapat merasakan apa yang sedang dilatih
- Butuh waktu :)
- Perasaan yang disebut disini adalah perasaan dari hati, jadi bukanlah perasaan dari kelima indra, jadi tidak sama dengan merasa : terjepit, pedas, asin, terhimpit, terinjak, panas
- Perasaan disini paling mirip dengan apa yg dirasakan saat anda senang/ bahagia (bukan saat tertawa terbahak-bahak karena saat itu anda lebih emosional)
- Latihan banyak kemiripan namun memiliki fungsi yang berbeda2 karena setiap latihan berfungsi untuk mengaktifkan dan menguatkan bagian tertentu dari hati agar hati dapat terbuka dengan sebaik-baiknya, karena hati adalah sesuatu yang dalam, jadi, harap tetap mengikuti dan melakukan dengan sebaik-baiknya walaupun merasa telah dapat melakukan latihan sebelumnya. Setiap kali melatih hati dengan sebaik-baiknya pastilah hati akan semakin terbuka dan lebih baik lagi. (tiap latihan pasti bermanfaat biarpun diulang sooo jangan ragu)
- Semua latihan yang diberikan sebenarnya hanyalah metoda alami untuk mengstimulasi hati dan mengandalkan berkat Tuhan YME. Bukan teknik yang diandalkan, melainkan kepasrahan dari hati kepada Tuhan YME Baca Selengkapnya...

________________________________________

Selasa, 12 April 2011

:________________________________________


WIRID MAKLUMAT JATI mengku 8 wiridan ;

1. Wirayat Jati
2. Laksita Jati.
3. Panunggal JAti.
4. Karana Jati.
5. Purba Jati.
6. Saloka Jati.
7. Sasmita Jati.
8. Wasa Jati.

8 Wiridan punika minangka Wedharing Ilmu Kebatosan.

" UILAHENG HONGMANGARCANA, MATAYA, AWIGNA MASTUNA MASHIDEM, UPAH MAYANA SIWAHA "

Suaroasipun : Dhuh hem adhuh, kawula manembah ing suksma, dununging panembah, sageda tinarimah lan angsal ganjaran saking kamirahanipun Sang Hyang Guru, ingkang mengku sakliring pepadhang.
 
Anenggih punika pituduh ingkang sanyata, anggelaraken dunung lan pangkating kawruh kasampurnan, wiwiwnih saking pamejangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitedah kasajatining kawruh kasampurnan, tutladhan saking kitab TASAWUF. Panggelaring wejangan wau thukul sakingkaweningan raosing penggalih, inggih Cipta Sasmitaning Pangeran, rinilan ambuka wedharing pangandikaning Pangeran dhateng Nabi Musa Kalamolah, ingkang suraosipun mekaten " ING SABENER - BENERE MANUNGSA IKU KANYATAHANING PANGERAN, LAN PANGERAN IKU MUNG SAWIJI "

Pangandikaning Pangeran ungkang mekaten wau, inggih punika ingkang kawesharaken dados witing kawruh kasampurnan, ingkang lajeng kawedharaken para gurunadi dhateng para ingkang sami katarimah puruitanipun. Dene wonten kawruh wau, lajeng kadhapuk 8 papangkatan sarta pamejangipun sarana kawisikaken ing talingan kiwa, Mangertosipun asung pepenget bilih wedharing kawruh kasampurnan punika mboten kenging kawejangaken dhateng sok tiyanga, dene kengingipun kawejangaken namung dhateng tiyamh imgkang sampun pinaringan Ilhaming Pangeran, tegesipun tiyang ingkang sampun tinarbuka papadhanging budi pangangen-angenipun ( ciptanipun ).

Awit saking punika, pramila ingkang sami kasdu maos serat punika sayuginipun sinembuha nunuwun ing Pangeran, murih tinarbuka ciptaning saged anampeni saha angecupi suraosipun wejangan punika, awit suarosipun pancen kapara nyata yen saklangkung Gawat. Mila kasembadanipun saged angecupi punapa suraosing wejangan punika, inggih muhung dumunung ing ndalem Raosing Cipta kemawon. Mila inggih mboten kenging kangge wiraosing kaliyan ingkang sampun NUNGGIL RAOS, wedaling pangandika ugi mawia DUDUGI lan PRAMAYOGI, mangertosipun kedah angen mangsa lan empan papan saha sinamun ing lulungidaning basa.
Baca Selengkapnya...

________________________________________

Memahami Shalat Daim

:________________________________________



Sebelum kita memahami Shalat Daim, ada baiknya kita memahami apa sebenarnya arti dari kata Shalat itu. Arti daripada shalat adalah mengingat-ingat GUSTI ALLAH (Dzikrullah) di waktu duduk, berdiri dan melakukan aktivitas dalam kehidupan ini. Sedangkan kata Daim itu memiliki arti terus-menerus ataupun tak pernah putus.

Jadi, jika kedua kata itu digabungkan maka Shalat Daim itu berarti mengingat-ingat GUSTI ALLAH tanpa pernah putus. Atau Dzikrullah secara terus menerus. Salah satu contoh dari Shalat Daim dapat kita tauladani dari sejarah saat Sunan Bonang menggembleng Raden Mas Syahid sebelum bergelar Sunan Kalijaga.

Saat itu Sunan Bonang sudah mengajarkan apa yang dinamakan Shalat Daim pada Raden Mas Syahid. Bagaimana Shalat Daim itu? Pertama kali Sunan Bonang menyuruh Raden Mas Syahid untuk duduk, diam dan berusaha untuk mengalahkan hawa nafsunya sendiri.

Menurut ajaran dari Sunan Bonang, Shalat Daim itu hanya duduk, diam, hening, pasrah pada kehendak GUSTI ALLAH. Raden Mas Syahid tidak disuruh untuk dzikir ataupun melakukan ritual apapun. Apa rahasia dibalik duduk diam tersebut? Cobalah Anda duduk dan berdiam diri. Maka hawa nafsu Anda akan berbicara sendiri. Ia akan melaporkan hal-hal yang bersifat duniawi pada diri Anda. Hal itu semata-mata terjadi karena hawa nafsu kita mengajak kita untuk terus terikat dengan segala hal yang berbau dunia.

Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun setelah sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan benar-benar tidak memiliki daya untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas dan lenyap. Dalam kondisi demikian, manusia akan berada dalam kondisi nol atau suwung total. Karena ego dan hawa nafsu sudah terkalahkan.

Demikian juga dengan kondisi Raden Mas Syahid ketika bertapa di pinggir kali. Ia hanya pasrah dan tidak melakukan ritual apapun. Hanya diam dan hening. Hingga akhirnya Sunan Kalijaga bertemu dengan GURU SEJATINYA.

“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”

Lewat Suluk Wujil, Sunan Bonang sudah menjelaskan perihal Shalat Daim yaitu

UTAMANING SARIRA PUNIKI,
ANGRAWUHANA JATINING SALAT,
SEMBAH LAWAN PUJINE,
JATINING SALAT IKU,
DUDU NGISA TUWIN MAGERIB,
SEMBAH ARANEKA,
WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT,
PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAT DAIM, INGARAN TATA KRAMA.

(Keutamaan diri ini adalah mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib (shalat 5 waktu). Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama).

Shalat sejati tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Shalat sejati adalah SHALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas.

Lebih lanjut Sunan Bonang juga menjelaskan tentang cara melakukan Shalat Daim lewat Suluk Wujil, yaitu

PANGABEKTINE INGKANG UTAMI,
NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA,
PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU,
SASOLAHE RAGANIREKI,
TAN SIMPANG DADI SEMBAH,
TEKENG WULUNIPUN,
TINJA TURAS DADI SEMBAH,
IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN.

(Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir).

Baca Selengkapnya...

________________________________________

Hakekat Ha Na Ca Ra Ka

:________________________________________


HA = Hana hurip wening suci
         (Adanya hidup adalah kehendak yang Maha Suci)

NA = Nur candra,gaib candra,warsitaning candara
         (harapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi)

CA = Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi
         (satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal)

RA = Rasaingsun handulusih
         (rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani)

KA = Karsaningsun memayuhayuning bawana
         (hasrat diarahkan untuk kesejahteraan alam)

DA = Dumadining dzat kang tanpa winangenan
         (menerima hidup apa adanya)

TA = Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa
         (mendasar ,totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang  hidup)

SA = Sifat ingsun handulu sifatullah 
         (membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan)

WA = Wujud hana tan kena kinira
          (ilmu manusia hanya terbatas namun bisa juga tanpa batas)

LA  = Lir handaya paseban jati 
         (mengalirkan hidup semata pada tuntunan Ilahi)

PA  = Papan kang tanpa kiblat 
          (Hakekat Allah yang ada di segala arah)

DhA = Dhuwur wekasane endek wiwitane 
           (Untuk bisa di atas tentu dimulai dari dasar)

JA  = Jumbuhing kawula lan Gusti
         (selalu berusaha menyatu -memahami kehendakNya)

YA  = Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi
          (yakin atas titah /kodrat Ilahi)

NYA = Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki 
           (memahami kodrat kehidupan)

MA  = Madep mantep manembah mring Ilahi 
          (yakin - mantap dalam menyembah Ilahi)

GA  = Guru sejati sing muruki 
         (belajar pada guru sejati)

BA  = Bayu sejati kang andalani 
         (menyelaraskan diri pada gerak alam)

THA = Tukul saka niat 
         (sesuatu harus tumbuh dari niat)

NGA = Ngracut busananing manungso 
         (melepaskan egoisme pribadi-manusia)

Baca Selengkapnya...

________________________________________

Sabtu, 09 April 2011

MANUNGGALING KAWULO GUSTI

:________________________________________


SIAPAKAH   SYEH SITI JENAR ?

Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.
Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri).
Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.
Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.
Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera;
Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;
Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;
Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap “subversif” yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar).
Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.
Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : “Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri”.*
Sidang para Wali
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad.
Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar.
Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya.
Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar, tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir. Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah bukanlah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi cara penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri, paham/pandangan Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaikan di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M.
Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.
Pedah punapa mbibingung, (Untuk apa membuat bingung)
Ngangelaken ulah ngelmi, (Mempersulit ilmu)
Njeng Sunan Giri ngandika, (Kanjeng Sunan Giri berkata)
Bener kang kaya sireki, (Benar apa yang Syekh Siti Jenar Katakan)
Nanging luwih kaluputan, (Tetapi lebih keliru -kurang tepat-)
Wong wadheh ambuka wadi. (Orang berani membuka rahasia)
Telenge bae pinulung, (Kelihatannya saja menolong)
Pulunge tanpa ling aling, (Pertolongannya tanpa penghalang -tahapan-)
Kurang waskitha ing cipta, (Kurang waspada dalam cipta)
Lunturing ngelmu sajati, (-akan berakibat- Lunturnya ilmu sejati)
Sayekti kanthi nugraha, (Yang seharusnya diberikan sebagai anugerah -kepada yang mereka yang benar-benar telah matang-)
Tan saben wong anampani. (Yang diberikan kepada siapa saja)
Artinya :
Syeh Siti Jenar berkata,
Untuk apa kita membuat bingung, untuk apa pula mempersulit ilmu?, Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar, karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.
Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.
Ngrame tapa ing panggawe
Iguh dhaya pratikele
Nukulaken nanem bibit
Ono saben galengane
Mili banyu sumili
Arerewang dewi sri
Sumilir wangining pari
Sêrat Niti Mani
. . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah.
Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita.
Kinanti
Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti.
Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.
Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.

Baca Selengkapnya...

________________________________________