Jumat, 18 Mei 2012

PEPALI KI AGENG SELO

:________________________________________

PEPALI KI AGENG SELO

PUNCAK-PUNCAK DALAM PANDANGAN
KESUSILAAN, KEFILSAFATAN DAN KETUHANAN
DALAM KESUSASTRAAN JAWA 

OLEH :
R.M. SOETARDI SOERYOHOEDOYO

——————————- 
BAGIAN I
Nama lagu dan bentuk syair : DHANDHANGGULA.
Jumlah baris tiap bait : Sepuluh.
Suara akhir masing-masing baris : i, a, e, u, i, a, u, a, i, a.
Jumlah suku kata masing masing : 10, 10, 8, 7, 9, 6, 8, 12, 7.
1. Pépali-ku ajinén mbrékati¹), Tur sélamét sarta kuwarasan, Pépali iku mangkene, Aja gawe angkuh, Aja ladak lan aja jail, Aja ati sérakah, Lan aja célimut; Lan aja mburu aléman, Aja ladak, wong ladak pan gélis mati, Lan aja ati ngiwa²).
“Pepali”-ku hargailah (supaya) memberkahi, Lagi pula selamat, serta sehat. Pepali itu seperti berikut : Jangan berbuat angkuh,  Jangan bengis dan jangan jahil, Jangan hati serakah, (tamak, loba), Dan jangan panjang tangan; Jangan memburu pujian, Jangan angkuh, orang angkuh lekas mati, Dan jangan cenderung kekiri.
—————————-
1). Pépali berarti ajaran, petunjuk, aturan.
2). Ati ngiwa dalam bahasa Jawa berarti suka menjalankan perbuatan-perbuatan yang harus disembunyikan terhadap umum. Ingatlah maksud “badhe dhateng pakiwan” (Jawa). Bahasa Indonesia : “hendak kebelakang” dan lain sebagainya. Ini masuk ungkapan pelembut atau eufemismus.
Sejak timbulnya pemerintahan yang berdasarkan perwakilan rakyat dan adanya kepartaian yang menentukan tindakan-tindakan pemerintah, yang dimaksud dengan “partai kiri” ialah partai yang mewakili golongan-golongan yang bertujuan mengadakan perubahan-perubahan dalam susunan atau cara pemerintahan, yang sering berhaluan sangat radikal, sehingga membahayakan susunan dan cara pemerintahan yang ada, lebih-lebih karena cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan tadi sering menyimpang dari faham demokrasi yang berlaku (kiri ekstrim).

Dalam agama yang dimaksudkan dengan penganut kiri, ialah orang yang berpendapat, bahwa syariat agama itu tidak perlu dijalankan, sehingga apabila pendapat demikian tadi menjalar dikalangan rakyat, hal itu tentu akan merusak tata tertib agama.
Dalam magic, dengan “kawanan kiri” dimaksudkan ahli-ahli sihir hitam (black magician), yang terutama mengejar kepentingan diri sendiri dan tidak segan-segan melenyapkan siapa saja, yang merintangi terlaksananya tujuan mereka.
2. Padha sira titirua kaki, Jalma patrap¹)  iku kasihana, Iku arahén sawabe ! Ambrékati wong iku, Nora kéna sira wadani, Tiniru iku kéna, Pambégane alus,  Yen angucap ngarah-arah, Yen alungguh nora pégat ngati-ati,Nora gélém gumampang.
Hendaklah meniru “kaki”²), Janma susila, itu sayangilah, Carilah sawabnya ! (sawab = tuah) Memberi berkah orang itu, Tidak boleh kau mencelanya. Lebih baik menirunya. Pendiriannya halus, Jika mengucap berhati-hati, Jika duduk tiada putus-putusnya berhati-hati, Tidak suka serampangan (menganggap mudah atau gampang.
———————————–
1). ”Jalma patrap” berarti : orang susila, orang beradap. (Sunda : jelema; Indonesia : janma)
Peradapan atau kesusilaan seseorang ditentukan oleh pendirian hidupnya, dan tampak pada tingkah-laku atau sepak terjangnya. Peradaban dan kesusilaan dalam arti kata yang sedalam-dalamnya terkait pada syarat-syarat utama, yaitu dapat mengusai diri sendiri.
Diri pribadi manusia dalam pokoknya tersusun dari tubuhnya perasaannya dan fikirannya. Jadi mengusai diri sendiri berarti :
  1. Menguasai tubuh sepenuhnya; yaitu berarti kemampuan untuk mengusai juga perjalan napfas dan darah, sehingga orang tidak lekas naik darahnya dan tidak mudah dipermainkan oleh urat-sarafnya (nervous). Ini besar faedahnya bagi kesehatan badan.
  2. Mengusai perasaan; yaitu dapat menahan rasa marah, mengkal, susah, takut dan sebagainya, sehingga dalam keadaan bagaimanapun juga orang selalu tenang dan sabar dan oleh karena itu lebih mudah untuk dapat mengambil tindakan-tindakan yang setepat-tepatnya.
  3. Menguasai fikiran; sehingga fikiran itu dalam waktu-waktu yang terluang tidak bergelandangan semau-maunya sendiri dengan tak berarah dan bertujuan, akan tetapi dapat diarahkan untuk memperoleh pengertian dan keinsafat tentang soal-soal hidup yang penting.
“Jalma patrap” atau “manusia susila” dalam Mahabarata diidealisasi dalam tokoh Arjuna. Arjuna tidak kenal rasa takut, gentar, dalam menghadapi keadaan bagaimanapun juga. Ia selalu sabar dan tenang dan selalu diliputi oleh rasa kasih sayang kepada sesama hidup dan karena itu dicintai juga oleh sesama umat manusia. Ia mencintai segala ciptaan Tuhan, yang dianggapnya sebagai kekasih atau isterinya semua dan jarang memikirkan kepentingan diri sendiri. (Arjuna dengan isteri-isterinya sebanyak sejuta kurang satu).
2). Kata “kaki” disini bukan berarti kaki anggota badan untuk berjalan, tetapi “kaki” yang lalu menjadi bahasa Indonesia “kakek” (nenek = panggilan kepada orang yang sudah lanjut usia).
Didalam puisi atau tembang (Jawa) kata “kaki” ialah panggilan untuk anak-anak muda.
3. Sapa sapa wong kang gawe bécik, Nora wurung mbenjang manggih arja, Tékeng saturun-turune. Yen sira dadi agung, Amarintah marang wong cilik, Aja sédaya-daya, Mundhak ora tulus, Nggonmu dadi pangauban. Aja nacah, marentaha kang patitis, Nganggoa tépa-tépa.
Barang siapa yang berbuat baik¹), Tiada urung kelak menemui bahagia¹), Sampai kepada keturunan-keturanannya, Jika kamu manjadi orang besar. Memerintah orang kecil, Jangan keras-keras,  Nantinya tan akan tetap, Kamu menjadi pelindung. Jangan sembarangan, perintahlah yang tepat, Pakailah kira-kira²).
—————————
1). Beramal baik, menemui bahagia. Peribahasa ini menunjukkan, bahwa sejak dahulu manusia telah mengakui berlakunya hukum sebab dan akibat mengenai segala peristiwa dalam semesta alam ini. Juga nasib manusia ditentukan dan diarahkan oleh hukum ini. Nasib yang dialami oleh manusia tiada lain daripada hasil pertumbuhan akibat perbuatan-perbuatan dan cita-citanya pada hari-hari yang lampau.
Dalam masyarakat tidak senantiasa tampak berlakunya hukum ini. Perbuatan yang baik tidak selalu berbuahkan hala-hal yang baik, malahan sering kali tidak diakui sama sekali, dan selanjutnya perbuatan yang buruk tidak selalu berakibat buruk, bahkan mendatangkan keuntungan yang menginginkan.
Kepercayaan yang besar dari kaum filsafat India kepada hukum sebab dan akibat ini, mendorong mereka untuk mencari keterangan-keterangan bagi peristiwa-peristiwa dalam masyarakat tersebut diatas. Demikian timbulnya ajaran Karma. Orang tidak hidup hanya satu kali saja didunia ini, akan tetapi berkali-kali, hingga ia menjadi mahkluk yang sempurna. Nasib yang baik yang kita dapati dalam hidup kita dahulu. Demikian juga halnya dengan nasib buruk. Selanjutnya akibat perbuatan yang baik atau buruk, yang belum kita alami dalam hidup kita sekarang ini, akan kita alami dalam hidup yang akan datang, apabila setelah mengalami mati, oarang dilahirkan kembali didalam dunia ini.
2). “Tépa” berarti “ukuran”. Dalam melakukan sesuatu perbuatan baiklah kita selalu ingat,bagaimana perbuatan itu akan diterima oleh orang lain. Jangan melakukan perbuatan terhadap seseorang, yang kita sendiri tidak menyukainya, apabila dilakukan terhadap diri kita. “Tépa-tépa” atau “tépa sélira” ialah satu dari dasar-dasar cara pergaulan hidup, yang disebut tatakrama atau ethica, dan dalam pendidikan merupakan salah satu pengertian, yang pertama harus disadarkan kepada obyek pendidikan.
Dalam pergaulan hidup “tepa selira” sering belum mencukupi. Belum tentu reaksi seseorang itu sama dengan reaksi kita sendiri terhadap sesuatu perlakuan. Maka selain “kenal akan diri sendiri” orang wajib juga mengumpulkan “mensenkennis” (ilmu tentang watak manusia).
4. Padha sira ngesthoké kaki, Tutur ingsun kang nédya utama, Angarjani sarirane. Way nganti séling surup, Yen tumpang suh iku niwasi, Hanggung atélanjukan, Témah sasar susur. Téngraning jalma utama, Bisa nimbang kang ala lawan kang becik. Rasa rasaning kémbang.
Hendaklah diperhatikan kaki, Nasihatku yang bertujuan utama, Membahagiakan dirimu. Jangan sampai salah terima, Bila tumpang balik menewaskan, Selalu keliru, Hingga simpang siur.  Tanda manusia utama, Dapat menimbang yang buruk dan baik¹), Rasa dan rasa bunga²).
—————————–
1). Pada umumnya segala perbuatan yang akan mendatangkan manfaat bagi kita atau sesama hidup sebagai akibatnya, itu dipandang sebagai perbuatan baik. Sebaliknya semua perbuatan yang akan berakibat penderitaan, kecelakaan, dan sebagainya bagi diri sendiri atau sesama hidup, lebih-lebih bagi masyarakat, dipandang sebagai perbuatan buruk. Perbuatan yang membawa manfaat bagi seseorang, akan tetapi merugikan orang lain atau masyarakat termasuk perbuatan buruk juga.
2). Dapat menimbang atau membedakan rasa dan rasa bunga. Peribasa ini melukiskan beda antara saksi dan persaksian. Rasa bunga ialah persaksian, rasa yang menyaksikannya. Dalam ilmu karang peribahasa-peribahasa demikian ini digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara manusia sejati (saksi) dengan alat-alat hidupnya. Mengetahui beda antara rasa dan rasa bunga berarti mengenal tubuh, perasaan, akal, ilham dan hidup sendiri sebagai obyek atau sesuatu diluar pribadi.
5. Kawruhana pambengkasing kardi, Pakuning rat lélananging jagad, Pambekasing jagad kabeh, Amung budi rahayu, Sétya tuhu marang Hyang Widi. Warastra pira-pira, Kang hanggung ginunggung, Kasor dening tyas raharja. Harjaning rat punika pakuning bumi, Kabeh kapiyarsakna.
Ketahuilah penyelesai segala kuwajiban, Pros Alam, si Jantan didunia, Pembebas seluruh dunia, Tak lain ialah yang berbudi rahayu,Setia sungguh kepada Yang Maha Kuasa. Senjata ber-macam-macam, Yang selalu dipuji-puji, Kalah dengan hati lurus. Keadilan alam ialah pusat peredaran bumi, Dengarkanlah semua ini.
—————————————
Yang dimaksudkan dengan “poros” atau “pusat alam” ialah jiawa atau inti hidup manusia, sedangkan alam disini ialah “alam dalam manusia sendiri” yang lazim disebut “jagad cilik” (mikrokosmos) sebagai lawan dari “jagad gedhe” (makrokosmos). Jagad = alam, cilik = kecil (sempit, gedhe = besar (luas).
Manusia yang dalam pertumbuhannya telah mengenal pribadi yang sejati dan dengan jerih payah lambat laun telah dapat mengusai gerak perasaan dan fikirannya, sehingga segala perbuatannya tidak lagi merupakan akibat belaka dari pengaruh peristiwa-peristiwa dalam dunia luar, manusia demikian itu telah menjadi pusat dari seluruh alamnya atau mikrokosmosnya sendiri. Ia berkuasa atas seluruh dunia perasaan dan fikirannya, dan karena ia telah menjadi manusia merdeka yang sebenar-benarnya. Ia mendapat sebutan “lélananging jagad” atau si Jantan, karena dalam mikrokosmosnya tidak ada sesuatu lagi yang dapat menentang kehendaknya (tiada godaan lagi yang dapat membelokkan hasratnya untuk berbuat lurus dan jujur). Dengan tercapainya kekuasaan atas diri sendiri, berkembanglah dalam sanubari manusia budi rahayu, yaitu budi, yang hanya bertujuan kebajikan seluruh dunia. Segala usahanya berpusat pada hasarat mengabdikan diri untuk kesejahteraan dan kebajiikan umat semuanya.
Terbukanya baginya tabir yang menutupi rahasia hidup. Adanya Tuhan baginya bukannya suatu rabaan lagi, suatu keharusan yang dipaksakan kepadanya pleh akalnya, akan tetapi seatu kenyataan yang telah disaksikannya sendiri dengan ilmunya. Ucapan “Asyhadu analailaha illallah” baginya benar-benar mempunyai arti !! Karena itu kesetiaannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa ialah kesetiaan yang sungguh-sungguh dan murni, dan bukan kesetiaan hasil ajaran atau bimbingan, yang tidak senantiasa tahan uji.
Manusia yang demikian senantiasa dilindungi oleh Tuhan dan terhindar dari segala marabahaya (senjata-senjata yang bertuah dan saktipun tidak dapat mendekatinya). Ia percaya bahwa seluruh evolusi menuju kearah kesejahteraan dan kebajikan, karena Tuhan Maha Pemurah dan Maha Penyayang.
6. Pomapoma anak putu mami, Aja sira ngégungakén akal, Wong akal ilang baguse. Dipun idhép wong bagus, Bagus iku dudu mas picis, Lawan dudu sandhangan, Dudu rupa iku. Bagus iku nyatanira, Yen dinulu asih sémune prakati, Patrap solah prasaja.
Mudah-mudahan anak cucuku, Jangan kamu menyombongkan akalmu, Orang berakal hilang bagusnya.Ketahuilah, orang bagus ! Kebagusan bukan mas picis,
Dan bukan pakaian (yang mentereng), Bukan paras muka. Bagus itu sebenarnya, Menimbulkan rasa sayang, tampaknya memikat hati,Tingkah laku yang sewajarnya (yang tidak dibuat-buat).
—————————
Orang yang suka sombong akan akal atau kepandaiannya, dan senantiasa memperlihatkan, bahwa ia lebih pandai atau cerdik dari pada orang lain, akhirnya dijauhi oleh teman-temannya, apalagi jika kepandaiannya itu digunakan untuk “berbuat pandai” atau menipu dan menjerumuskan orang lain.
7. Lawan aja dhémVn ngaji-aji, Aja sira képengin kédhotan, Kadigdayan apa dene, Aja sira mbédhukun, Aja ndhalang lan aja grami, Aja budi sudagar, Aja watak kaum, Kang den ajab mung ruruba, Kaum iku padune cukéng abéngis, Iku kaun sanyata.
Dan jangan gemar akan mukjizat, Janganlah kamu ingin kebal, Kesaktian apa lagi, Jangan kamu menjadi dukun, Menjadi dalang atau berniaga, Jangan berbudi saudagar (berbudi – berwatak), Jangan bertabiat lebai (kaum), Yang diharap-harap hanya keuntungan, Lebai itu kata-katanya tegar dan bengis, Benar demikian lebai itu.
—————————————
Orang yang gemar akan mukjizatan dan sanggup menjalankan segala laku yang diperintahkan oleh guru ilmu dan sering tidak masuk akal sama sekali, sebenarnya sudah meniadakan hukum sebab dan akibat, dan karena itu sudah melumpuhkan akalnya, satu-satunya alat perlengkapan hidup manusia, yang bagaikan pelita memajari jalan hidup manusia. Lagi pula kegemaran akan mukjizat dalam pokoknya bersandar kepada keinginan, ingin lain dari pada orang lain, ingin dipandang sebagai orang terkemuka, ingin dipuji dan sebagainya, yang sesungguhnya harus dicapai dengan jalan lain, yaitu dengan jasa dalam pengabdian diri kepada kepentingan sesama hidup.
Kekebalan dan kesaktian, bila benar dapat dimiliki oleh manusia, kebanyakan berakibat kesombongan, kecongkakan, penindasan dan teror.
Dalam mengupas buah kesusasteraan Ki Ageng Selo, baiklah kita selalu ingat, bahwa pepali ini terutama ditujukan kepada putra-putra dan cucu-cucunya, yang dalam angan-anganya akan memegang kekuasaan dalam pemerintahan.
Dengan demikian dapat dimaklumi mengapa ia melarang keturunanya untuk berniaga. Seorang pegawai pemerintahan sekarang juga tidak diperbolehkan berdagang. Dhukun dan dhalang dianggapnya sebagai penipu.
8. Kumbah, krakah, cukit lan andulit, Miwah jagal, mélantén, kumala, Iku nora dadi gédhe. Wajib sinirik iku, Pan wus aja ngaruh-aruhi, Aja doyan sémbrana, Matuh analutuh,  Niwasi barang karya, Wong sémbrana témahane nora bécik. Nyényénges nanjak-nanjak.
Penatu, penjual daging, penjual trasi dan kapur sirih, Pembantai, [emutih dan pedagang akik, Itu tidak akan menjadi besar.Wajib ditegahkan itu,  janganlah menegur mereka. Jangan gemar bersenda, Terbiasa terlanjur, Menggagalkan sembarang pekerjaan, Orang bergurau akibatnya tidak baik, Mengejek menonjol-nonjolkan diri.
————————————-
Pekerjaan-pekerjaan tersebut diatas, karena pengaruh kebudayaan India, dianggap dapat menganggukesehatan dan dipandang sebagai pekerjaan hina. Karena itu janganlah bergaul dengan orang-orang yang menjalankan pekerjaan itu.
9. Pae wong kang makrifat séjati, Tingkah una-unine prasaja, Dadi panéngeran gédhene. Eséme kadi juruh, saujare manis trus ati, Iku iangaran dhomas. Wong bodho puniku, Ingkang jéro isi émas, Ingkang nduwe bale kencana puniki, Bola bali kinenca.
Berbedalah orang yang makrifat sejati, Tingkah dan ucapanya bersahaja, Menjadi tanda kebesarannya. Senyumnya bagaikan kental gula, Tiap ucapannya selalu manis terus hati. Itulah yang disebut dhomas. Orang bodoh yang, Jiwanya berisi mas, Yang memiliki tahta kencana ini, Berulang-ulang direncanakan.
——————————–
Ajaran mistik dalam agama Islam dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu : Syariat, Tarikat, Hakikat dam Makrifat. Dalam usaha untuk mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya, yaitu mengenal rahasia hidup dan Ketuhanan, manusia dimisalkan menempuh jalan kesuatu tempat yang tertentu, yang dalam agama Islam dilambangkang dengan perjalanan pergi naik haji.
Untuk dapat sampai kepada tempat itu dengan selamat diperlukan :
  1. Pebekalan yang cukup untuk perjalanan tadi. Ajaran tentang apa yang merupakan perbekalan-perbekalan guna perjalanan tadi didapat dalam bagian-bagian syariat.
  2. Menjalankan latihan-latihan perjalan. Petunjuk untuk latihan-latihan itu dapat diperoleh dalam bagian tarikat. Dalam bahasa Jawa tarikat itu menjadi tirakat !! (matathesis).
  3. Pengetahuan yang mutlak mengenai perlunya perbekalan-perbekalan, seluk-beluk jalan yang akan ditempuh, dan segala sesuatu tentang tempat tujuannya tadi.
Ajaran mengenai segala-galanya ini dapat diperoleh dalam bagian Hakikat.
Dengan perlengkapan-perlengkapan yang serba cukup, sebagai yang dimaksudkan dalam angkan 1, 2 dan 3 diatas, maka manusia sekarang dapat menempuh jalan kearah tujuannya itu dengan selamat (pergi naik Haji) dan dapat menyaksikan dengan mata sendiri kenyataan dari tempat tujuannya itu, atau kenyataan Allah. Dalam bagian syariat hal ini dilambangkan dengan persaksian akan kenyataan Mekah. Inilah yang dimaksudkan dengan Makrifat.
Orang yang sudah makrifat (bahasa Jawa : mripat = mata….. jadi menyaksikan dengan mata batin pribadi) itu, dipandang telah dapat mencapai tujuan manusia yang tertinggi, yaitu mengenal Tuhan Yang Maha Esa, dan diibaratkan sebagai memiliki Tahta Kencana. Tiap kali rencana itu gagal (bolak-balik), akan tetapi bila ia sudah menjadi cukup kuat dan bila pengetahuannya sudah cukup mendalam akhirnya ia lulus dan mencapai tingkat makrifat.
(Bandingkan dengan kata Indonesia : Arif = bijaksana ! Arab : Arafa = tahu, mengerti).
10. Keh tépane mring sagunging urip, Pan uninga ati téngu géngnya,  Ingkang sasingkal gédhene. Endhog bisa kéluruk, Miwah géni binakar warih. Iku talining barat, Kawruhana iku !! Manjing atos nora rénggang, Bisa mrojol ing kérép dipun kawruhi, Kang céndhak kéthokana.
Banyak belas kasihan kepada semua yang hidup, Kan mengetahui besar hati tungau,Yang sebesar sebuah singkal. Telur yang dapat berkokok, Dan api yang dibakar dengan air. Itu tali angin, Ketahuilah itu !! Masuk kedalam barang keras tan meratakkan, Dapat menerobos jala yang kedap ketahuilah juga !! Potongolah segala yang pendek !!
——————————–
Dalam kitab Pepali terdapat banyak kalimat yang mengandung paradok, yaitu hal-hal yang berlawanan satu dengan yang lain. Paradok-paradok itu dimaksudkan sebagai teka-teki mengenai soal-soal filsafat.
“Tungau” ialah semacam kutu ayam. “Singkal” ialah tongan kayu yang melintang diatas pisau-bajak atau mata tenggala yang mengesampingkan tanah yang dikeluarkan dari parit, bekas jalan pisau. Dan tanah yang yang menyibak kekanan-kiri “singkal” (karena dibajak) itu disebut juga singkal (Bandingkan dengan : sebungkah tanah !). yang diibaratkan dengan “tungau” ialah manusia yang besarnya jika dibandingkan dengan besar alam yang terbentang ini, tidak melebihi besar tungau dibandingkan dengan besar singkal.
“Hati tungau” ialah ibarat hidup manusia. Manurut filsafat Kejawen, karena hidup atau gerak itu ialah satu-satunya sifat mutlak Tuhan, yang dapat disaksikan oleh mata manusia, dan karena Tuhan itu hanya Satu (Qul huwa Allahu ahad), maka harus hanya ada Satu Hidup juga, yang memenuhi dan meliputi seluruh Alam ini. Jadi hidup tungau (manusia) sebesar sebuah singkal (memenuhi seluruh Alam).
Telur yang dapat berkokok.
  1. Sebenarnya yang dapat berkoko itu bukannya ayam jantan, akan tetapi “hidup” didalamnya, yang mula-mula sudah ada dalam telur.
  2. Orang yang telah mempelajari Ilmu Ketuhanan (Theologie), seperti jago (ayam jantan) yang berkoko-kokok, dapat menerangkan dengan congkak dan sombong segala hal-ihwal tentang Tuhan dan hal-hal lain mengenai Ilmu Kebatinan. Akan tetapi sebenarnya semua yang diterangkan itu diketahuinya tidak dari pengalaman atau dari persaksian sendiri, melainkan semata-mata dari buku-buku atau ajaran-ajaran orang lain. Walaupun jiwanya belum terbuka (kulit telur belum pecah) ia sudah dapat memberi keterangan mengenai ilmu-ilmu yang muluk-muluk, dengan bangga. (ayam jantan yang berkoko-kokok).
“Api yang dibakar dengan air”. Air biasanya digunakan sebagai lambang pengetahuan atau ilmu. Api ialah api akal manusia. Jadi paradok ini bermaksud : Akal manusia yang berkembang dengan kuat karena disiram pengetahuan.
Kendali (tali) angin. Angin ialah ibarat hawa-nafsu. Kendali (tali) ialah akal manusia, alat untuk mengusai nafsu.
“Masuk kedalam benda keras tan meratakkan dan dapat menerobos jala kedap”. Yang dimaksudkan disini ialah hidup yang dapat keluar dari badan dengan tak meninggalkan bekas.
“Potongilah yang pendek”. Tolak atau berantaslah segala perbuatan serampangan (yang tidak difikirkan dengan panjang-panjang tentang akibatnya). Jangan singkat budi, lekas marah, gegabahan dan sebagainya.
11. Aja watak sira sugih wani, Aja watak sok ngajak tujaran, Aja ngéndélkén kuwanen, Aja watak anguthuh, Ja ewanan lan aja jail, Aja ati canthula, Ala kang tinému. Sing sapa atine ala, Nora wurung bilahi pinanggih wuri, Wong ala nému ala.
Jangan berwatak menyombongkan keberanian, Jangan berwatak sering suka bertengkar, Jangan menyandarkan diri pada keberanian, Jangan berwatak tak tahu malu, Jangan irihati dan jangan jahil, Jangan berhati lancang, Buruk yang didapat, Barang siapa berhati jahil, Tiada urung celaka akhirnya didapat, Orang jahat menemukan jahat.
————————————-
Bait tersebut hendak mengambarkan adanya hubungan sebab akibat dalam rantai nasib manusia.
12. Poma-poma anak, putu sami, Aja sira méngeran busana, Aja ngéndélkén pintéré, Aja anggunggung laku. Ing wong urip dipun titeni, Akétareng basa, Katandha ing sému. Sému bécik, sému ala, Sayéktine ana tingkah solah muni, Katon amawa cahya.
Mudah-mudahan anak, cucu, semua, Jangan bertuhan kepada perhiasan, Jangan congkak akan kepintaranmu, Jangan menyanjung-nyanjung laku. Itu disaksikan oleh sesama-hidup,  Terlihat dalam budi-bahasmu, Tertanda pada roman-mukamu. Semu baik, semu jahat, Sebenarnya berkata dalam tingkah-laku, Tampak pada cahaya.
——————————————-
Dalam hidup, manusia janganlah terlalu tinggi menghargai benda-benda keduniawian, mas, intan, lain-lain batu-permata dan pakaian-pakaian yang mentereng, pendek kata segala-galanya yang bersifat perhiasan dan memuja-mujanya seolah-olah benda itu Tuhan sendiri.
Selanjutnya manusia jiga tidak boleh terlalu sadar akan kepintaran, kecerdasan dan kecerdikannya, yang telah didapat dari pendidikannya. Sifat demikian ini banyak terdapat pada kaum cerdik pandai kita, lebih-lebih mereka mempunyai gelar universitas, Drs, Sh, Ir, dan sebagainya, yang sering meremehkan orang-orang lain yang tidak mendapat didikan akademis. Sebenarnya sifat demikian ini sangat menurunkan derajad kaum cerdik pandai kita, sebab selain menunjukkan sifat-sifat kesombongan yang tidak pada tempatnya, juga memperlihatkan kedangkalan pengetahuan mereka. Semakin mendalam ilmunya, manusia itu semakin sadar bahwa apa yang telah diketahui itu sebenarnya hanya sedikit sekali. “Seperti ilmu padi, semakin tunduk, semakin berisi.”
 Yang dimaksudkan dengan laku disini ialah cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan kemukjizatan menurut ajaran ilmu sihir dan sebagainya. Jangan terlalu menjunjung-junjung ilumu semacam itu karena akhirnya hanya akan menyesatkan saja.
13. Aja sira amadhakkén jalmi, Amarentah kaya sato kewan, Kébo, sapi, miwah iwen. Aja sira prih wéruh, Kaya wong, pan nora ngréti. Aja kaya si Soma, kVbone pinukul. Sababe sinau maca, Yen bisaa nora beda padha urip,Mulane awéwuda.
Jangan kau persamakan dengan manusia, Bila kau perintah hewan, Kerbau, sapi dan unggas. Jangan mencoba mengajarnya, Sebagai manusia, karena tidak mengerti. Jangan seperti si Soma, Kerbaunya dipukuli. Sebabnya kau telah belajar membaca. (tidak buta huruf), Sedapat-dapat perlakukanlah dengan baik, tak beda sesama hidup. Asal-mulanya telanjang juga.
———————————————–
Asal-mula semua makhluk itu sama dengan asal-mula manusia, yaitu hidup sejati, sebagai sifat murni Tuhan. Hidup sejati yang belum ber-ruh, berjiwa, berperasaan, berfikir, bertubuh dan berpancaindera, disini dilambangkan sebagai sesuatu yang telanjang. Manusia wajib mencintai dan memperlakukan dengan sebaik-baiknya semua makhluk, karena mereka itu berakar juga pada Tuhan. Mencintai dan menghormat semua makhluk berarti mencintai dan menghormat Penciptanya, yaitu Tuhan.
14. Ayam ginusah yen munggah panti, Atanapi lamun mangan béras, Kébo ingadhangan bae, Iku wong olah sému,  Lamun sira tétanggan kaki, Yen layak ingaruhan, Aruhan iku. Yen tan layak-énéngéna, Apan iku nggémeni darbek pribadi, Pan dudu rayatira.
Ayam dihalau jika hendak masuk rumah, Kalau-kalau nanti makan beras, Jika kerbau dihalang-halangi saja,  Itu tindakan orang yang belajar hal-ihwal. Apabila kamu bertetangga dengan dia buyung. Kalau sudi ditegur-sapa, Kenalilah ia. Jika tidak sudi, diamkanlah saja,Lagi pula bukan keluargamu.
——————————————-
Maksud dari bait ini ialah supaya kita berkenalan dengan orang-=orang yang mempunyai kebijaksanaan dan kewaspadaan, yaitu orang-orang yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi dikemudian hari, berdasarkan gejala-gejala yang dapat disaksikannya sekarang dan dengan mengambil tindakan-tindakan yang tepat dapat menghindarkan hal-hal, yang tidak disukainya. Demikian itu apabila orang tadi suka berkenalan dengan kita. Bila ia tidak suka berkenalan dengan kita, maka tidak perlu kita dengan merendah-rendahkan diri berusaha berkenalan dengan orang tadi. Mungkin ia takut, bahwa, apabila ia bergaul dengan kita, kita akan menjadi bijaksana dan waspada juga. Diantara orang-orang yang pandai, memang sering ada yang tidak suka menerimakan kepandaiannya itu kepada orang lain. Kepandaiannya itu ingin dimilikinya sendiri, supaya tidak ada lain orang yang menyamainya. Orang demikian itu tidak perlu kita tegur dan kita tunjukkan kesalahannya, karena ia tidak termasuk keluarga kita.
15. Patrapéna rayatira kaki, Anak, putu, sanak, présanakan, Enakéna ing atine. Lamun sira amuruk, Wéruhéna yen durung sisip. Yen wus katiwasan, Aja sira tuduh. Kelangan tambah duraka, Yen wus tiwas sira umpah-umpah kaki !! Tur iku mundhak apa !??
Jalankanlah terhadap keluargamu cucuku, Anak, cucu, sanak, persaudaraan, Enakkanlah hati mereka. Kalau kau mengasuh, Beritahulah sebelum khilaf. Jika sudah bersalah, Janganlah ditegur-tegur. Rugi tambahan pula durhaka, Bila sudah salah diumpat-umpat lagi cucuku ! Dan lagi apa manfaatnya !??
——————————————-
Dalam mengasuh atau mendidik, orang jangan bersifat negatif, dengan mencela atau menegur-negur saja, ketika anak-didik bertindak keliru. Sebab pada umumnya orang atau lebig-lebih anak-anak itu tidak berbuat salah dengan sengaja atau dengan benar-benar sadar akan kesalahannya.
Kalau pendidikan itu benar-benar pendidikan, sifatnya harus positif, yaitu anak-anak harus diberitahu perbuatan-perbuatan mana yang termasuk perbuatan salah dan mana yang termasuk benar, berdasarkan pandangan-pandangan yang dapat dimengerti oleh anak-anak.
Sebagai pangkalan misalnya dapat diberitahukan, bahwa semua perbuatan yang akibatnya akan merugikan diri sendiri itu terang salah. Berdasarkan “tepa salira”, maka semua perbuatan yang akibatnya akan merugikan atau melukai hati orang lain tentunya juga termasuk perbuatan salah.
Sebaliknya semua perbuatan yang akibatnya akan menguntungkan diri sendiri dan orang-orang lain, termasuk perbuatan-perbuatan baik.
Berdasarkan pandangan-pandangan ini dapat diberikan pengetahuan tentang arti : nista, madya dan utama. Nista ialah perbuatan yang hanya bertujuan keuntungan bagi diri sendiri dengan tidak memperdulikan kepentingan orang lain, yang nampak dalam bentuk yang seburuk-buruknya sebagai perbuatan korupsi dan pengkhianatan terhadap Negara. Madya ialah perbuatan-perbuatan yang menguntungkan diri sendiri dan sementara orang lain, sedangkang selanjutnya tidak ada fihak-fihak lain yang dirugikan. Utama ialah perbuatan-perbuatan yang menguntungkan orang lain, masyarakat atau bangsa dan dilakukan dengan pengorbanan kepentingan diri sendiri.
Pangkal lain untuk membedakan perbuatan salah dan benar atau buruk dan baik, ialah rasa cinta. Semua perbuatan yang dijalankan karena dorongan rasa cinta ialah perbuatan yang baik. Sebaliknya semua perbuatan yang dijalankan karena dorongan rasa benci termasuk perbuatan buruk.
Selanjutnya pendidikan yang bersifat positif harus berusaha untuk membuat rasa nyaman atau membesarkan hati anak didik. Anak didik harus disadarkan, bahwa nilainya yang sesungguhnya itu tidak beda dari nilai orang-orang lain, meskipun dari para sarjana atau orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Apa yang dapat dicapai oleh para sarjana dan orang-orang tinggi lainnya itu, dapat dicapainya juga. Syarat-syaratnya hanya kehendak yang sungguh-sungguh dan mengetahui jalan yang harus ditempuh. Maksud dari semua ini ialah untuk menimbulkan dan memupuk rasa hargadiri dan kepercayaan pada diri sendiri, yang memupuk rasa hargadiri dan kepercayaan kepada Tuhan. Inilah yang dimaksudkan dengan “mengenakkan hati” anak-didik. (bikin enak hati).
16. Bumi, géni, banyu miwah angin, Pan srengenge, lintang lan rémbulan, Iku kabeh aneng kene. Ségara, jurang, gunung, Padhang péténg, padha sumandhing, Adoh kalawan pérak, Wus aneng sireku. Mulane ana wong agucap, Sapa bisa wong iku njaringi angin, Jaba jalma utama.
Bumi, api, air serta angin, Matahari, bintang dan bulan, Itu semuanya ada disini. Laut, lembah dan gunung, Terang dan gelap ada disamping, Jauh dan dekat, Sudah ada dalam dirimu. Karena itu ada orang yang berkata : Siapa yang dapat menjala angin, Kecuali manusia utama.
——————————————
Hidup ialah sumber segala tenaga dan gaya. Selanjutnya tenaga (energi) itu ialah asal-mula segala zat yang ada dalam Alam ini.
Pandangan filsafat jaman kuna itu telah dibuktikan kebenarannya oleh perkembangan ilmu Kimia-Fisika akhir-akhir ini. Pembuatan bom atom berdasarkan atas perubahan massa (zat) menjadi tenaga. Bila zat dapat menjelma menjadi tenaga, maka sebaliknya tenaga harus dapat juga menjadi zat, atau dengan perkataan lain zati itu tiada lain dari pada penjelmaan tenaga. Karena hidup ialah sumber segala tenaga dan tenaga ialah asal mula zat, maka segala zat dalam alam ini sudah terkandung dalam hidup.
Demikian juga halnya dengan ukuran ruang, jauh dan dekat. Menurut filsafat ketimuran, waktu dan ruang itu sebenarnya tidak ada. Waktu dan ruang ialah hasih penipuan pancaindera (zinsbegocheling). Menurut ilmu pasti benda itu terdiri atas titikmateri-titikmateri yang tak terhingga banyaknya membentuk sebuah garis. Garis itu tak dapat disaksikan, karena hanya mempunyai satu dimensi (panjang) dan takmempunyai ukuran lebar atau tinggi. Sederet garis-garis yang tak terhingga banyaknya membentuk sebuah bidang. Bidang itu tidak dapat disaksikan juga, karena hanya mempunyai dua ukuran, yaitu panjang dan lebar, dan tak mempunyai tinggi atau tebal.
Setumpukan bidang-bidang yang tak terhingga banyaknya membentuk sebuah benda. Benda itu dapat dipersaksikan dengan panca-indera, karena mempunyai tiga ukuran (dimensi); yaitu panjang, lebar dan tinggi. Akan tetapi karena benda tadi terdiri unsur-unsur yang tidak dapat dipersaksikan, yaitu titik-titik, garis-garis dan bidang-bidang, maka konsekwensinya benda dan ruang itu sebenarnya tidak ada. Ruang dan waktu adanya hanya sebagai manifestasi hidup, yang mula-myla mengandungnya. Maka “jauh dan dekat” sudah ada dalam diri pribadi.
Angin dalam baris k 9 ialah lambang hawa nafsu dan fikirang. Orang yang dapat menjala angin berarti orang yang dapat menguasai perasaan dan fikirannya.
17. Tama témén tumaném ing ati, Atinira tan nganggo was-was, Waspadha marang ciptane. Tan ana liyanipun, Muhung cipta harjaning ragi, Miwah harjaning wuntat. Ciptane nrus kalbu, Nuhoni ingkang wawénang. Wénangira kawula punika pasthi, Sumangga ring kadarman.
Baik dan jujur tertanam dalam hati, Hatinya tak mengandung was-was (galau), Waspada terhadap ciptanya.Tak ada lainnya, Dalam ciptanya hanya kebahagiaan badan, Dan kebahagian dikemudian hari. Ciptanya meresap dalam kalbu, Meyakini kepada Yang Kuasa. Kekuasaan hamba itu sesungguhnya pasti, Terserah kepada kemurahan Tuhan.
——————————–
Hidup manusia bergiliran berpusat dalam hati, sebenarnya dalam jantung (perasaan) dan dalam otak (fikiran). Bersatu-padunya perasaan dan fikiran ialah cipta.
Keterangan diperoleh bila cipta berpusat dihati. Dalam keadaan demikian itu lenyaplah segala perasaan wawas dan manusia mengerti, bahwa ia hanya suatu alat belaka, yang harus melakukan perintah Tuhan.
BAGIAN II
Nama lagu dan bentuk syair : ASMARADAHANA.
Jumlah baris tiap bait : Tujuh.
Suara akhir masing-masing baris : i, a, e, a, a, u, a.
Jumlah suku kata masing masing : 8, 8, 8, 8, 7, 8, 8.
1. Poma sira aja dréngki, Dahwen marang ing sasama. Sama den arah harjane, Harjane wong aneng dunya. Dunya tékeng akerat, Akerate amrih lulus, Lulus dennya méngku nikmat.
Hendaknya engkau jangan dengki, Suka mencela orang lain. Usahakanlah kebahagiaan bersama, Kebahaian orang didunia. Didunia sampai keakhirat. Akhiratnya supaya lulus, Lulus sehingga mendapat nikmat.
2. Nikmat rasane ing ati, Ati pan ratuning badan, Badan iku sajatine, Pan iku ingaran kudrat. Kudrat karsaning Allah, Allah ingkang Maha Agung, Luhur tan ana pipindhan.
Nikmat rasanya dalam hati, Hati itu rajanya badan. Badan itu sebenarnya, Apa yang disebut kodrat. Kudrat ialah kehendak Allah, Allah Yang Maha Agung, Luhur tiada taranya.
——————————–
Allahu Akbar; La syarikallahu = Allah Maha Besar; tidak menduakan Tuhan !! (hanya ada satu Tuhan).
3. Padha kawruhana yékti, Yéktine ngelmu sarengat. Sarengat awit kang gédhe, Panggédhening ngelmu nyata, Nyatane neng sarengat. Sarengat den amrih tutug, Tutug marang ing Kakekat.
Ketahuilah yang sebenar-benarnya, Ilmu syariat yang sebenarnya. Syariat ialah permulaan yang utama, Pemuka segala ilmu kenyataan, Kenyataannya terdapat dalam syariat. Maka selesaikanlah syariat itu, Hingga meningkat kehakikat.
4. Kakekate ngelmu jati, Jati sagunging upama, Upama kang katon kabeh, Kabeh iki aneng dunya, Dunya tibanging kerat, Ngakerat dina ing mbesuk, Mbesuk iya dadi dunya.
Hakikat ilmu sejati, Sari segala peristiwa, Peristiwa yang dapat disaksikan semua, Semua ini ada didunia. Dunia lawannya akhirat. Akhirat itu hari kemudian, Kemudian juga jadi dunia (sekarang).
5. Dunya dina kang saiki, Ik kang aran ngakerat, Ngakerate uwong biyen. Mbiyen ngarani ngakerat. Ya iki ingaranan, Arane mungguh ta ingsun, Ingsun iki lagi dunya.
Dunia ialah hari sekarang, Ini yang disebut akhirat, Akhirat bagi orang dahulu. Orang dahulu menamakan akhirat Sekarang ini. Artinya bagi saya, Saya ini baru mengalami dunia.
————————————
Baik ke-4 dan ke-5 hendak mengupas soal dari sudut filsafat. Yang dimaksudkan dengan dunia atau sekarang ialah “Kini” (the presen atau het nu) yaitu ketika ini. Bagi filsafat ketimuran, waktu itu penipuan pancaindera manusia belaka. Waktu lampau ialah “sekarang” yang akan datang. Padahal “sekarang” itu tidak dapat kita saksikan. Manakah “sekarang” itu sebenarnya ???.
Pada waktu “sekarang” itu kita nyatakan, ialah sudah lampau, walaupun sebagaian waktu yang tak terhingga pendeknya. “Sekarang” itu., sebagai halnya dengan titik, trak berukuran juga, dan sesuatu yang tidak berdemensi, maupun diperbanyak dengan berapa saja, tidak akan dapat menghasilkan sesuatu yang berukuran, yang dapat diukur panjang pendeknya, sebagai halnya dengan waktu. Karena itu waktu tadi dianggap sebagai penipuan pancaindera belaka (zinsbeoocheling). Dengan demikian segala peristiwa atau keadaan, yang hanya dapat difahami dalam ragam waktu dan ruang itu, penipuan pancaindera juga.
Jika waktu (lampau, sekarang dan kemudian) itu tidak ada, maka yang ada ialah kebakaan dan keabadian) eternity), yaitu satu diantara sifat-sifat mutlah Tuhan.
6. Neng dunya kang sugih puji, Puji tégésé pamuja. Muja iku nékakaké, Nékakake kanikmatan. Nikmate badanira. Yen sira témén satuhu, Tuhu téka dennya muja.
Didunia sebaiknya perbanyaklah puji, Puji artinya memuja. Memuja itu mendatangkan, Mendatangkan kenikmatan, Kenikmatan badanmu, Bila kamu bersungguh-sungguh , Sungguh akan tercapai cita-citamu.
———————————-
Memuji atau berdoa dalam pokoknya tiada lain dari pada menyatakan secara jelas dengan kata-kata, apa yang sangat kita hasratkan dalam hidup, yaitu cita-cita hidup kita. Memuja atau mencipta ialah pekerjaan berdoa yang disertai pemusatan seluruh perhatian. Dengan tiap hari atau sering kali mencipta, orang berulang-ulang menentukan secara jelas cita-citanya, sehingga cita-cita tadi merupakan cita-cita yang bulat, yang niscaya akan terlaksana karenanya.
Kepercayaan yang demikian itu terdapat pada hampir segala bangsa. Bangsa Inggris mengatakan : “Where there ia a will, there ia a way”, orang Jawa mengatakan : “Yen temen tinemu” atau “temen tinemenan”.
7. Yen sira muja sémedi, Pan mangkana pujinira : Rabbana-a-tina mangke, Fidunya lan kasanatan, Wafil akhirati kasanat, Wakina lan malihipun, Ngadabanar. Tégésira :
Jika kamu memuja dan bersemedi, Demikianlah doanya : Rabbana-a-tina selanjutnya, Fiddunya kasanatan, Wafil akhirati kasanat, Wakina dan seterusnya, ‘Azabanar. Maksudnya :
8. Pangeran hamba sayékti, Kawula nyuwun kamulyan,Ing dunya mulya slamine. Tumékoa ing akerat, Kinacekna sasama. Salamat téguh rahayu, Tébihna siksa néraka.
Tuhan hamba yang sebenar-benarnya, Hamba memohon kemulian,Didunia mulia selama-lamanya. Hingga sampai diakherat, Bedakanlah hamba dari sesama. Selamat, sentosa, bahagia, Jauhkanlah dari azab (siksa) neraka.
—————————
Puji atau doa yang dimaksudkan dalam bait ke-7 dan ke-8 ialah doa Qunut, yang selengkapnya berbunyi : Robbana atina fiddunya hasanatan, wafil akhirati hasanatan, waqina ‘azabannar.
Acapkali menjadi pertanyaan apakah surga dan neraka itu (hemel en hel; heaven and purgatery) sebagaimana digambarkan dalam Kitab-kitab suci itu benar-benat ada?? Menurut ajaran “ilmu klenik” adanya surga dan neraka itu ialah suatu keharusan dalam rangkaian sebab dan akibat, akan tetapi surga dan neraka, sebagaimana terdapat dalam gambaran orang banyak, sebagaimana hasil ajaran syariat, tempat manusia menemukan kenikmatan yang mencucurkan semua pancaindera, atau direbus dan dibakar hidup-hidup, tidak diakui adanya, karena dianggap sangat bertentangan dengan sifat Tuhan sebagai Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Apabila manusia yang seburuk-buruknya saja tidak sampai hati untuk menyiksa secara demikian musuh-musuhnya yang sekejam-kejamnya, sudah tentu Tuhan tidak akan sampai juga untuk menyiksa makhluk-makhluk ciptaannya sendiri.
9. Sagung wong kang nému bécik, Kang samya anuwun rahmat, Kang cukup iku pujine !! Poma den padha estokna, Gélém nora géléma, Kajaba kang nora sarju, Mangsa borong karépira.
Semua orang yang menemui nasib baik, Yang memohon rahmat, Hendaknya diperbanyak doanya !! Hendaklah diperhatikan dengan benar, Mau atau tidak mau, Kecuali mereka yang tidak sepaham, Terserah apa kehendakmu.
—————————————–
Maksud bait ini ialah : Hendaknya manusia itu selalu ingat kepada Tuhan, juga bila ia sedang mengalami nasib baik dan dapat hidup makmur dan sejahtera. Janganlah hanya ingit kepada Tuhan dan memohon perlindungan dan rakhmat-Nya, bila sedang mengalami nasib yang pahit. Nasib buruk yang dialami manusia itu sebenarnya dapat dipandang sebagai suatu peringatan, bahwa manusia dalam tindakan-tindakannya telah menyimpang jauh dari kehendak Tuhan, karena tidak ingat lagi kepada Tuhan. Jadi kalau manusia mengalami nasib yang baik, senantiasa juga tidak menyimpang dari kehendak Tuhan, maka ia tidak perlu diberi peringatan dalam bentuk nasib yang buruk. Maka kebahagiaannya akan terus terjamin. Bagi orang-orang yang tidak sepaham, masa bodohlah !!!
10. Gusti Allah ngudaneni, Marang makhluk sadayanya, Kang ala tanapi sae. Nadyan rambut para sapta, Apan wus nora samar. Ala bécik mung jinurung, Nora pégat ciptanira.
Allah Maha Mengetahui, Kepada makhluk semuanya, Yang jahat dan yang baik. Meskipun rabut dibelah tujuh, Tidak luput dari penglihatan-Nya. Baik buruk selalu diberkahi, Tak terputus dari kehendaknya masing-masing.
———————————
Jahat dan baik keduanya diperbolehkan.
Tak terputus dari kehendaknya masing-masing orang.
Yang dimaksudkang dengan dua baris diatas ini ialah, bahwa nasib buruk (sebagai akibat tindakan-tindakan yang jahat) dan nasib baik (sebagai akibat tindakan-tindakan yang baik), manusia boleh memilih dengan bebas.
Tuhan tidak menghalang-halangi pemilihan itu.
Jadi nasib manusia bukanlah suatu takdir, yang dipaksakan oleh Tuhan. Manusia merdeka dalam membangun dan mengarahkan nasibnya. Apa yang dinamakan takdir itu ialah buah yang tumbuh dari tindakan-tindakan manusia sendiri, menurut hukum sebab dan akibat, yang merupakan hukum umum dalam alam.
BAGIAN III
Nama lagu dan bentuk syair : MEGATRUH.
Jumlah baris tiap bait : Lima.
Suara akhir masing-masing baris : u, i, u, o.
Jumlah suku kata masing masing : 12, 8, 8, 8, 8.
1. Wruhanira tekad ingkang luwih luhung, Poma dipun ngati-ati, Akeh sambekalanipun. Wali mukmin sadayeki, Pirang-bara manggih yéktos.
Ketahuilah tekad yang lebih tinggi, Jalankanlah dengan hati-hati, Banyak rintangannya. Wali mukmin semuanya, Mudah-mudahan benar-benar menemukannya.
————————–
Yang dimaksudkan dengan tekad atau tujuan yang lebih tinggi atau yang tertinggi dalam hidup manusia ini, ialah mencapai kesempurnaan kebahagiaan hidup.
Kebahagian hidup yang sempurna itu tercapai, apabila manusia dapat memperkembangkan sifat-sifat jiwanya, yang merupakan gambaran sifat-sifat yang Maha Esa, yaitu :
  1. Kesempurnaan dalam ilmu pengetahuan.
  2. Kesempurnaan dalam kasih sayang, sehingga kasih sayangnya meliputi semua makhluk, dan sebaliknya semua makhluk menyayanginya.
  3. Kesempurnaan kekuasaan atas pribadinya dan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa disekelilingnya atau dengan lain perkataan kesempurnaan kekuasaan atas nasib pribadinya.
Jalan untuk mencapai tujuan yang tertinggi ini memang penuh dengan rintangan-rintangan dan ujian-ujian yang berat.
Karena itu disini pengarang mendoakan, mudah-mudahan semua wali dan mukmin dapat menemukannya atau mencapainya.
2. Lamun luput aneng dunya lakunipun, Ngakerat datan pinanggih. Yen énom wédélanipun, Babarane nora bécik. Ya iku poma kang yéktos !!
Jika salah jalan didunia, Di akhirat tidak pernah akan ketemu. Bila muda wédélanya (celupannya). Babarannya tidak baik. Itulah ibarat yang tepat !!
————————————-
Telah diterangkan dimuka, bahwa nasib seseorang dikemudian hari itu tergantung dari perbuatan-perbuatannya sekarang. Dalam bait ini kenyataan demikian itu diibaratkan dengan babaran (keadaan kain batik pada akhir proses membatik) dan wédélan (pekerjaan atau perbuatan yang mula-mula dijalankan dalam proses memberi macam-macam warna kepada kain batik tersebut).
Jika perbuatan-perbuatan kita kini kurang sempurna (salah jalan di dunia), nasib kita dikemudian hari juga tidak akan sebaik yang kita kehendaki (diakhirat tidak terdapat nasib baik).
Bagaimana perbuatan yang sempurna itu ??
Perbuatan yang sempurna ialah perbuatan yang kita lakukan dengan persetujuan penuh dari perasaan dan fikiran kita (dalam keselarasan perasaan dan akal), dan yang telah kita selesaikan dengan sebaik-baiknya, hingga kita mendapat kepuasan karenanya. Perbuatan-perbuatan yang demikian itu tidak akan meninggalkan bekas-bekas dalam ingatan kita dan karenanya tidak akan menganggu fikiran kita.
Sebenarnya apa yang menggangu fikiran kita dan menghalangkan ketenangan hidup kita itu ialah kekurangan-kekurangan dalam tindakan-tindakan kita dihari yang lampau, yang kesemuanya menyebabkan tidak tercapainya cita-cita kita. Timbunan kekecewaan-kekecewaan dalam ingatan manusia, sebagai akibat kurang sempurnanya tindakan-tindakannya dihari yang sudah lampau itulah, yang menjauhkan manusia dari rasa kebahagiaan. Perbuatan-perbuatan yang kurang sempurna itu dalam bait ini diibaratkan dengan wédélan yang muda, sedangkan nasib kurang baik yang timbul karenanya diibaratkan dengan babaran yang kurang baik.
Catatan :
Dalam pembuatan kain batik, sesudah kain selesai digambari dengan potlod (pensil), gambaran itu lalu diulangi lagi dengan lilin. Sesudah itu bagian-bagian kain yang kemudian harus menjadi putuh (kuning muda) di tutup dengan lilin pula. Kemudian kain lalu dimasukkan dalam mandian cat biru-tua. Ini yang dinamakan médél, hasilnya ialah kain wédélan. Bagian-bagian yang berwarna biru tua ini, sekarang di tutup dengan lilin, supaya warna biru itu tetap, bila nanti kain dimasukkan dalam mandian cat merah-kuning (soga). Bagian-bagian yang akan diberi warna soga, yang tadinya sudah tertutup dengan lilin, dihilangi lilinya dahulu (mengerok). Kain lalu dimasukkan dalam mandian soga. Hasilnya ialah kain soga, dengan bagian yang tak tertutup lilin yang berwarna merah kuning, dan bagian-bagian yang tertutup lilin yang berupa biru tua atau putih. Sesudah ini lalu kain dimasukkan dalam mandian air mendidih. Karena itu semua lilin lepas dari kain. Kain menjadi bersih dan menpunyai tiga warna, biru tua, merah-kuning dan putih. Bila wédélannya muda (kurang baik), kain akhirnya menjadi kurang baik juga.
3. Pang mangkana, manawa bae ing mbesuk, Oleh dhangane kang ati. Nging aja mésthekkén iku ! Manawa ana ingkang sih, Antuk suwargadi kaot.
Demikian, barang kali kemudian, Mendapat kemurahan hati (Tuhan). Tapi jangan dipastikan itu ! Bila ada kasih sayang, Mendapat surga indah yang berbeda.
4. Wruhanira wong ahli ilmu puniku, Sarta tekat ingkang bécik, Cinadhang suwarga mbesuk. Swarga pépitu yékti, Ana luhur, ana asor !
Ketahuilah ! orang berilmu itu, Serta yang bertekad baik, Kepadanya disediakan surga kelah. Disediakan tujuh surga, Ada yang tinggi dan ada yang rendah ! 
5. Prmilane den wruh ala bécik iku ! Kang ala dipun singkiri, Kang bécik wajib tiniru ! Allah pasthi ngudaneni, Ginadhang-gadhang kinaot.
Maka ketahuilah soal buruk dan baik itu ! Yang buruk supaya dijauhi, Yang baik wajib ditiru ! Allah pasti mengetahuinya, Mencadang-cadangkan keistimewaan.
6. Ingkang ala pasthi cinadhang ing mbesuk, Pinrénah aneng Yunani. Dene ingkang bécik iku, Pasthi cinadhang ing mbenjing, Aneng suwargadi kaot.
Yang jahat pasti dicadangkan kelak, Ditempatkan dalam neraka. Dan yang baik itu, Pasti dicadangkan kemudian, Ditempatkan disurga yang indah dan istemewa.
7. Pan mangkana iku adiling Hyang Agung. Pramila den ngati-ati, Neng dunya aja katungkul. Sanajan ala sireki, Nuli elinga ing batos !!
Demikian itu keadilan Tuhan Yang Maha Agung, Maka hendaknya berhati-hati, Didunia jangan terlanjur-lanjur. Meskipun jahat kamu itu, Segera sadarlah dalam batin !!
8. Lamun sira durung eling lampus, Kainan pinanggih wuri. Sru gétun dahat kaduwung. Katungkul duk kala urip, Ngakerat kari bébéndon.
Bila kau belum sadar lalu meninggal,  Hina yang didapat kelak. Sangat kecewa dan sangat menyesal, Terlanjur ketika didunia.Diakhirat tinggal bencana.
9. Pan yaiku musthikane kang lapil hu, mBengkas sagung ponang lapil. Pan iku bae wus cukup ! Nanging ati ingkang suci, Poma-poma den kalakon !
Itulah mustika lafal agung (HU), Yang meniadakan semua lafal lain. Itu saja sudah cukup ! Tapi hendaknya yang suci, Mudah-mudahan sungguh terlaksanalah !
10. Ya wa inna rohmatullahi karibun, Minal mukminina yékti. Satuhune lapil iku, Ingkang padha dipun esthi. Dene eling lahir trus batos !
Wa inna rahmatullahi karibun, Minal mukminina. Sebenarnya lafal itu, Ialah yang menjadi tujuan. Hendaklah ingat lahir-batin !
11. Pan mangkana tégése lapal puniku : Sagung rahmating Hyang Widi, Pinérakakén mring makhluk, Kang sami akarya bécik, Angesthi nédya rahayu.
Demikianlah arti lafal itu : Segala rahmat yang Maha Kuasa, Didekatkan pada makhluk, Yang suka berbuat baik, Bertujuan kerah kebajikan.
————————————
Karibun asalnya dari karib = dekat. Bandingkanlah “sahabat karib” !!
Hyang Widi = Tuhan Yang Maha Kuasa.
12. Aneng dunya dipun srégép anénandur, Lan dipun srégép rérésik. Tégése srégép nénandur : Agawe ngamaling dhiri, Kang rila ing lair batos.
Didunia hendahnua rajin menanam, Dan rajin membersihkan (mencucikan). Artinya rajin menanam : Ialah beramal untuk kebaikan dhiri. Dengan ikhlak lahir batin.
13. De maknane kang bangsa résik puniki : Karam makruh den sumingkir, Dohna ing dédosa sagung, Dosa samar-samar gaib. Eling-eling den waspaos !
Akan makna hal bersih itu : Haram makruh hendaknya dijauhi, Jauhkan diri dari segala dosa, Dosa samar-samar gaib. Ingat-ingatlah dengan waspada !
14. Eling iku mituhu marang pitutur, Pitutur kang muni tulis; “karya bécik” yen digugu. Poma den padha angesthi, Iku marganing kinaot !
Ingat berarti percaya pada petuah, Petuah yang sudah tertulis; “Berbuatlah baik”, bila dipatuhi, Hendaknya ini dijakan tujuan, Itulah jalan kearah kebesaran !
BAGIAN IV
Nama lagu dan bentuk syair : M I J I L.
Jumlah baris tiap bait : Enam.
Suara akhir masing-masing baris : i, o, e, i, i, u.
Jumlah suku kata masing masing : 10, 6, 10, 10, 6, 6.
1. Ngelmu sarengat puniku dadi, Wawadhah kang yéktos. Kawruh télu pan kawéngku kabeh, Kang serengat kanggo lair batin. Pramilane sami, Sarengat rumuhun.
Ilmu syariat itu jadi, Tempat yang sebenarnya. Ketiga itu tlah terkandung didalamnya semua, Dalam syariat untuk lahir dan batin. Maka hendaknya semua, Menjalankan syariat dahulu.
2. Ngelmu tarekat punika dadi, Dédalan kang yéktos, Lamun arsa wruh ing Pangerane. Luwih angel, marga saking sulit. Ati sanubari, Séjatine iku !
Ilmu tarekat itu jadi, Jalan yang sejati, Bila ingin megetahui Tuhan. Lebih sukar oleh karena sulit. Hati sanubari, Sebenarnya itu !
————————————————-
Jalan ke Tuhan melalui hati sanubari.
3. Ngelmu kakekat puniku pasthi, Wéruh kangsayéktos, Ing wuhude Pangeran sipate, Nanging Allah tan kéna kadéling.Katingale ugi,Neng sipatireku.
Ilmu hakikat itu pasthi, Tahu yang sebenarnya,Kenyataan sifat-sifat Tuhan. Akan tetapi Allah tak dapat dilihat. Terlihatnya juga, Hanya pada sifat-sifatnya.
4. Dene ngelmu makripat kang luwih, Wéruh kang samélok. Den rumangsa iku ing uripe ! Sébab urip napas manjing mijil. Ya iku sayékti, Wéruh kang satuhu.
Sedangkang ilmu makrifat yang lebih tinggi, Artinya tau dengan sesungguhnya. Sadarilah itu dalam hidupmu !  Sebab hidup keluar masuknya napas. Itulah sebenarnya, Tahu yang sebenar-benarnya.
5. Lamun mérém sipate Hyang Widi, Katingal mancorong. Lamun mélek katingal ing Date, Ing salwiring kang katingal kabeh. Jémbar padhang iki, Pratandha Hyang Agung.
Bila mata terpejam sifatnya Yang Maha Kuasa, Nampak bercahaya. Bila mata terbuka kelihatan dalam Dzat, Segala yang nampak semua, Luas dang terang benderang ini, Pertanda sifatnya Yang Maha Agung.
————————————-
Menurut ajaran Ilmu Mystik, sifat Tuhan yang tampak sebagai cahaya itu, dapat disaksikan dalam samadi atau shalat daim.
6. Lamun sira kabeh wus mangérti, Ngelmu papat manggon, Poma aja mancungul ungase ! Dipun gémi, tanapi den rémpit,Sayéktiku wadi,Lir gandrung mangun kung.
Bila kamu semua sudah mengerti, Kedudukan keempat ilmu, Janganlah menampakkan kesombongan ! Hendaknya berhemat dan cermat, Sebenarnya itu rahasia, Bagaikan jatuh cinta yang membara.
7. Lawan malih, wékas ingsun sami, Aja laku awon, Ing sabarang sarak larangane ! Dipun eman wéruh ngelmu iki, Supayane mbenjing, Ngakerat képangguh !
Lagi pula, pesan saya semua, Jangan berbuat jahat, Ingatlah segala larangan sarak ! Sayangilah akan pengetahuan ilmu ini, Supaya kelak, Diakhirat menemukan buahnya !
8. Lawan malih dipun ngati-ati, Den sabar lan kamot, Lamun ana cobaning Hyang méngke ! Setan julig, wasis miranteni, Pramilane sami, Den awas lan emut !
Lagipula hendaknya berhati-hati, Hendaknya sabar dan tahan, Bila ada coboaan dari Tuhan nantinya ! Setan licik, pandai membuat perangkap, Oleh sebab itu, Selalu waspada dan ingat !
9. Iya iku pawitan kang luwih, Sabar lawan kamot ! Pan wus kocap dalil Qur’an nggone : Wabasiri sabarina. Yékti, Bébungah Hyang Widi, Kang sabar ing laku.
Yaitu merupakan modal yang lebih, Sabar dan tahan ! Yang sudah tertulis dalam dalil Qur’an tempatnya : Wabasiri sabarina. Benar, Merupakan kUrnia dari Allah, Yang sabar dalam menjalaninya.
10. Ingkang sampun tédhas ilmu iki, Tan darbe pakewoh, Ing sabarang lakuning uripe, Upamane sarah munggeng jladri, Tan karsa pribadi, Mung lakuning alun.
Yang dapat mengunyah ilmu ini, Tidak memiliki perasaan segan, Di semua perjalanan hidupnya, Ibarat sampah didalam lautan, Tak ada kehendak pribadi, Hanyalah ikut geraknya belombang.
———————————–
Manusia dimaksud dalam bait diatas, tidak mempunyai kemauan sendiri lagi. Segala perbuatannya dipersembahkan kepada Allah. Ia menjalankan kehendak atau perintah Allah, ibarat sampat yang bergerak menrut kehendak gelombang lautan.
11. Miwah kudu anggaweya bécik, Mring sapadhaning wong. Aja nédya ngudi wawalésé ! Gusti Allah pasthi anyémbulih, Yen apotang bécik, Ngakerat tinému.
Dan wajib berbuat kebaikan, Kepada sesama orang. Jangan mengaharap balasannya ! Allah pasti akan membalasnya, Yang meminjamkan kebaikan, Diakhirat akan mendapat balasannya.
————————————————————
Orang yang berbuat kebaikan dan selalu sadar akan berbuatannya yang demikian itu, lebih-lebih mengaharap balasannya, dalam hakikatnya ialah orang yang belum baik. Bagi orang yang benar-benar baik, perbuatan baik itu perbuatan yang biasa, jadi tidak seberapa disadari waktu menjalaninya.
12. Poma aja sumélang ing galih, Lair miwah batos, Janji sira anétépi bae, Ing unine supatra kadyeki, Pasthi datan kédhip, Kang Allah Mukidun.
Janganlah mempunyai rasa was-was dalam hati, Lahir serta batin, Asal kamu menepati saja Bunyi kalimat seperti ini, Tidak akan berkedip, Yaitu Allah Makidun.
—————————————
Makidun berarti : meresap dalam dan meliputi segala-galanya.
Pengertian tentang sifat Makidun Tuhan ini dapat diperoleh dalam ayat surat ikhlas Al Qur’an, yang berbunyi : “Qul huwa Allahu ahad”, yang berarti “Katakanlah Allah itu Satu”.
Menurut filsafat, karena sifat mtlak akal manusia itu dualistis, akal manusia tadi tidak dapat membentuk gambaran tentang pengertian Satu, karena apapun juga olehnya harus digambarkan dalam suatu tempat atau ruang, dan sesuatu tadi dengan ruang tempat ia ada, sudah merupakan Dua. Yang dapat digambarkan oleh akal manusia bukannya pengertian Satu, tetapi pengertian Kesatuan, sebagai jumlah dari semua satuan. Demikian seluruh alam ini, dengan semua bagiannya dan semua Satuan, yang ada didalamnya merupakan satu Kesatuan. Bila Allah itu Satu, maka seluruhnya alam ini harus merupakan sifat-Nan atau dengan perkataan lain, Ia harus ada dimana-mana, meresap dalam segala-galanya dan meliputi segala-galanya dalam dunia ini.
13. Pan wus kocap ana ndalém kadis, Lapal kang sayéktos. Mantala wajidahu lapale, Wajidahu tégése kang arti : Yen témén sayékti, Kakekating masbun.
Yang tlah tersbut didalam Hadist, Lafal yang sejati. Mantala wajida, Wajidahu artinya : Apabila jujur yang bersungguh-sungguh, Hakikatnya masbun.
14. Sakarsanta, Allah anjurungi,  Denira krahayon. Pan ginadhang prapteng salalise. Gusti Allah yen amundhut urip, Mring kawula sami, Ngaget praptanipun :
Sekehendakmu, Allah meluluskan, Kehendak akan bahagia, Yang sudah dicadangkan hingga datangnya maut. Bila Allah mengambil hidup, Dari semua hamba-Nya, Secara tiba-tiba kedatangannya.
Lamun sira bida nganggo iki, Dadi jalma kaot. Yeku aran manungsa arane.  Tégésira unusaning jalmi. Arang kang ngawruhi, Wrin manungsanipun.
Bila kamu dapat mempergunakan ilmu ini, Jadi orang yang terpilih. Itu artinya manusia yang sejati. Maksudnya ialah sari-intinya manusia. Jarang ada yang megetahui, Mengetahui manusiaannya.
BAGIAN V
Nama lagu dan bentuk syair : MASKUMAMBANG. *)
Jumlah baris tiap bait : Empat.
Suara akhir masing-masing baris : i, a, i, a.
Jumlah suku kata masing masing : 12, 6, 8, 8.
*). “Mas” Disini berarti mati atau jenazah. Bandingkanlah dengan “ngemasi” !!
“Mas Kumambang” berarti jenazah yang terapung-apung. Dalam zaman Kuna, Jenazah orang tidak dikubur, akan tetapi dilabuh atau diserahkan kepada laut. Lagu “Maskumambang” hendak melukiskan perasaan susah, pedih ketika berpisah dengan kekasih, yang sudah mendahului kealam baka.
1. Wruhanira, sagung wong urip puniki, Pésthi lamun péjah. Yen wus péjah urip malih. Uripe pan warna-warna.
Ketahuilah, semua orang yang hidup ini, Pasti akan mati (meninggal). Kalau sudah mati hidup lagi, Hidupnya itu bermacam-macam.
———————————-
Menurut kepercayaan orang Jawa dahulu, dan sekarang juga masih ada orang-orang yang menganut kepercayaan itu, manusia hidup didunia ini tidak hanya satu kali saja, melainkan berkali-kali hingga ia dari tingkat paling rendah hingga mencapai tingkat kesempurnaan (pengertian “manitis’).
Dalam pengertian  yang populer, pandangan demikian ini mungkin tampaknya mentertawakan, misalnya manusia dilahirkan kembali menjadi hewan. Yang demikian itu sangat bertentangan dengan pengertian evolusi. Akan tetapi dalam pandangan “manitis” itu tidak menyimpang dari akal.
Menurut hukum kekekalan zat dan tenaga, dalam alam ini tidak ada zat dan tenaga yang dapat lenyap begitu saja. Hilangnya tenaga mekhanis misalnya karena menjelma menjadi tenaga panas, tenaga listrik atau tenaga lain; suatu jenis zat lenyap karena menjelma manjadi jenis zat lain. Demikianlah hidup, yang boleh dipandang sebagai suatu macam tenaga atau malahan sebagai sumber tenaga juga tidak dapat hapus bigitu saja, akan tetapi harus menjelma menjadi sumber tenaga atau hidup yang lain.
2. Sébab dene anut ngamale duk nguni. Yen bécik ngamalnya, Ngakerat dadine bécik. Aja nganti dadi ala.
Sebab menurut amalnya dahulu. Jika baik amalnya, Diakherat jadinya baik. Jangan sampai menjadi buruk.
3. Pramilane den padha laku kang bécik, Supadi dadiya, Ngakerate dadi bécik. Wong bécik pasthi raharja.
Oleh sebab itu berbuatlah yang baik, Supaya akibatnya, Akhiratnya menjadi baik. Orang baik tentu bahagia (selamat).
4. Pan wong ala yen masih tinitah janmi, Iku pan wus béja. Tinimbang dadi bubabi, Aluwung dadiya janma.
Bila orang jahat masih dilahirkan menjadi manusia, Itu masih untung. Daripada jadi babi, Lebih baik jadi manusia.
5. Dene ingkang bécik ora dupeh sugih, Nora dupeh wirya, Nora dupeh priyayi. Ala bécik karseng driya.
Dan yang dianggap orang baik itu, bukan karena orang kaya,Bukan karena kedudukan (pangkat), Bukan karena bangsawan. Jahat dan baik itu kehendak hati.
6. Wus mangkana iku karsane Hyang Widi : Urip nuli péjah, Yen wus péjah urip malih, Léstari tanpa wekasan.
Sudah demikian kehendaknya Hyang Widi : Hidup lalu mati, Sesdudah mati hidup lagi, Abadi tak ada akhirnya.
7. Wruhanira, dene laku ingkang bécik, Iku karsaning Hyang. Kang ala lakune iki, Padha karsaning Hyang Suksma.
Ketahuilah, sedangkan perbuatan yang baik, Itu kehendaknya Hyang (Tuhan). Demikian perbutan yang jahat, Semua atas kehendak Hyang Suksma.
————————————————
Baik dan buruk (jahat) itu sudah merupakan suatu dwitunggal. Seluruh pengertian manusia bersandar atas pasangan-pasangan dwitunggal, yang saling merupakan kebalikannya. Hal yang tidak ada kebalikannya atau tidak dapat diperbandingkan dengan hal-hal lain, yaitu hal yang mutlak, tidak dapat difahami oleh akal manusia dengan jelas.
Meskipun baik dan jahat itu sudah merupakan pasangan dwitunggal, itu tidak berarti bahwa manusia harus bersikap pasif terhadan ajakan hatinya untuk berbuat jahat. Sebaliknya segala ajakan kearah jahat harus ditindasnya dan seluruh tenaga jiwanya harus ditujukan kearah kebaikan.
8. Aja mamang, wus kocap ing dalil-dalil : Wa tukrijul haya Kalawan min al mayiti, Lan wa tukrijul mayita.
Jangan ragu-ragu, sudah tersebut dalam dalil-dalil : Wa tukrijul haya, Dan min al mayiti, Dan wa tukrijul mayita.
9. Min al hayi. Kalawan lapale malih : Watarjug man tasa, Miwah bil gaera hisabi. Tégése lapal punika :
Min al hayi. Dan lapal seterusnya: Wa tarjug man tasa, Dan bil gaira hisabi. Arti lafal tersebut adalah :
10. Gusti Allah amétokakén ing urip, Awit saking péjah; Lawan métokakén pati, Kang pati wit saking gésang.
Allah menciptakan hidup, Berawal dari kematian; Dan menciptakan kematian, Sedang kematian berawal dari hidup.
———————————————————
Dalam bait 8 dan 9, dan dijelaskan dalam bait 10 itu kutipan dari Al Qur’an, surat Ali Imron, ayat 27 dan bunyi yang sebenarnya :
Wa tukhriju hayya minalmayyiti
Wa tukhri’ju mayyita minal-hayyi
Wa tarzuqu man tasya bi ghairi hisabin.
Arti “Wa tarzuqu man tasya bi ghairi hisabin” ialah : dan Engkau memberi rezeki kepada yang Engkau kehendaki dengan tidak tanggung-tanggung.
Kebenaran pernyataan, bahwa Tuhan menciptakan hidup dari mati, dan mati dari hidup itu, telah dapat dibuktikan oleh perkembangan keilmuan Kimia-Physika dewasa ini. Kini manusia telah dapat membuktikan bahwa energie (sumber segala gerak) itu dapat diciptakan dengan terhapusnya zat (pangkal dari segala benda, yang tidak dapat bergerak jadi mati). Jika energie (hidup) itu penjelmaan zat, maka zat (mati) sebaliknya harus merupakan penjelmaan energie (hidup) juga.
Perkembangan pengetahuan akan tenaga atom, yang telah dapat menelurkan pembuatan bom-atom, yang sangat mengagumkan kekuatannya itu, ialah akibat langsung dari pengertian baru tentang hubungan antara energie dan zat, yang dapat dikemukakan oleh manusia dewasa ini.
Satu kilogram zat, apabila dapate dijelmakan dengan sempurna menjadi tenaga, akan menimbulkan tenaga sebanyak 90.000 juta kilogram-meter tiap detik atau 1.200 juta tenaga kuda dalam sekejap mata.
11. Ingkang gésang iku samya den paringi, Réjéki ing Allah. Ana akeh ana thithik, Apan pinentés ing kira.
Yang hidup itu semuanya diberi, Rejeki oleh Allah. Ada yang banyak ada yang sedikit,Masing-masing manurut kadarnya.
13. De ingkang pinaringan réjéki luwih, Den sukur ing Allah, Ingkang pinaringan thithik, Den narima ing Pangeran.
Yang diberi rejeki banya, Bersyukurlah kepada Allah. Dan yang diberi rejeki sedikit, Berterimakasihlah kepada Tuhan. 
BAGIAN VI
Nama lagu dan bentuk syair : DHANDHANGGULA.
Jumlah baris tiap bait : Sepuluh.
Suara akhir masing-masing baris : i, a, e, u, i, a, u, a, i, a.
Jumlah suku kata masing masing : 10, 10, 8, 7, 9, 6, 8, 12, 7.
1. Wruhanira urip puniki, Dipun ngrasa yen bakal palastra, Tanwun ngaraha slaméte. Tégése slamét iku, Antuk rahmat saking Hyang Widi. Tégése aran rahmat, Cinadhang swarga gung. Dene kang aran suwarga, Sarwa dhangan ngakihrat mukti léstari, Sapangkat murwatira.
Ketahuilah orang hidup itu, Bahwa ia akan menemui ajal. Baiknya usahakan keselamatan, Artinya selamat itu, Memperoleh rahmatnya Hyang Widi. Arti sebutan rahmat, Disediakan surga mulia. Dan yang dinamakan surga, Serba bahagia diakhirat yaitu kemuktian yang kekal, Menurut derajat dan kepantasannya.
2. Pan mangkana neng dunya duk urip, Lamun thithik kabécikanira, Ngakhirat thithik rahmate. Yen akeh bécikipun, Pésti akeh rahmat tinampi. Upamane wong dagang, Paitane agung, Pésthi akeh bathinira. Lamun thithik paitane, duk ing kuni, Pésthi thithik bathinya.
Demikian sewaktu hidup didunia, Bila sedikit kebaikannya, Diakhirat sedikit rahmatnya. Jika banyak kebaikannya, Tentunya banyak rahmat yang diterima. Seumpama orang berdagang, Modalnya besar, Tentunya banyak untungnya (laba). Bila sedikit modalnya sejak dahulu kala,  tentunya sedikit keuntungannya.
3. Undha-usuk pangkating urip : Kang rumiyin pangkating kawiryan, Prihatin pangkat pindhone. Karo Karseng Hyang Agung. Gung kawula darma nglakoni, Béja, cilakanira, Atas lokil makpul. Pan wus pinasthi Hyang SUksma. Lire : Béja, cilaka pasthi ndhaténgi. Papésthen rong prakara.
Tingkatan martabat dalam hidup : Pertama kemewahan, Duka-cita yang kedua. Keduanya kehendak Hyang Agung. Semua hamba sekedar menjalani, Bahagia dan celaka, Bergantung kepada lokil makhful. Sudah dipasthikan oleh Hyang Suksma. Artinya : malang, mujur tentunya akan mendatangi. Takdir dua macam itu.
——————————————-
Lokhul mahfud : buku yang didalamnya sudah tercatat nasib manusia satu persatu, berhubungan dengan perbuatan-perbuatannya yang terdahulu.
4. Pramilane sagung wong aurip,  Aja bungah yen ginanjar mulya, Suka, prihatin darbeke : Manawa ngakiripun, Lamun témén marang Hyang Widi, Sayékti tinéménan, Panédyaning manus. Ing dunya dereng kalakyan, Aneng akhir sayékti lamun pinanggih, Wawalése tyas harja.
Oleh sebab itu semua orang hidup, Jangan bergembira bila dianugrahi kemulian, Senang, susah sudah kepunyaannya sendiri. Barangkali akhirnya, Jika setia kepada Hyang Widi, Jika dilaksakan dengan sunguh-sungguh, Permintaannya manusia. Diakhirat tentu akan menjumpai, Balasan hati yang mulia.
5. Jalma luwih médharakén mamanis, Kang cinatur Kitap Tafsir Alam. Tinétépan upamane : Ingkang ségara agung, Lawan papan kang tanpa tulis, Tunjung tanpa sélaga, Sapa gawe iku ? Kalawan jénénging Allah, Lan Muhammad anane ana ing éndi ? Ywan sirna ana apa ?
Manusia terpilih menyampaikan perihal kemuliaan, Yang dibicarakan dalam Kitab Tafsir Alam. Ditetapkan misalnya : Samudra yang luas, Dan tempat yang tidak bertulis, Teratai yang tidak berkuncup, Siapa yang membuat ? Dan nama Allah, Dan Muhammad dimana adanya ? Bila lenyap apa yang masih ada ?
6. Damar murup tanpa sumbu nénggih, Godhong ijo ingkang tanpa wéksa, Modin tan ana bédhuge, Sétek pisan wus rampung, Tanggal pisan purnama sidi, Panglong grahana lintang, Iku sémunipun, Kang sampun awas ing cipta.  Aja sira katungkul maca pribadi, Takokna kang wus wignya.
Pelita menyala tanpa sumbu, Daun hijau tanpa pohon, Modin tanpn bedugnya (modin = juru azan), Sekali singgung sudah tamat, Tanggal satu bulan purnama, Panglong gerhana bintang. Itulah lambang (simbol), Manusia yang sudah waspada akan ciptanya. Jangan selalu membaca sendiri saja. Tanyakanlah kepada yang sudah sidik (arif).
——————————————————————–
“Samudra Besar” ialah gambaran lautan hidup. Seluruh Alam yang terbentang ini boleh dikatakan penuh sesak dengan bagian-bagian zat yang tidak berhenti geraknya (molekul-molekul, getar acther). Karena adanya gerak itu disebabkan oleh adanya gaya atau tenaga, dan hidup ialah sumber tenaga, maka seluruh alam ini harus terisi dengan hidup juga. Inilah yang dilambangkan sebagai “Samudra Agung (Samudra Besar).
Tempat yang tak bertulisan, mengisahkan hal yang mutlak khususnya Tuhan. Artinya mutlat atau absolut, yaitu sesuatu yang tak ada lawannya atau yang tidak ada yang menyerupainya, dan karenanya tidak dapat dikenal oleh manusia dengan jalan membandingkannya dengan barang atau hal yang lain. Karena tidak dapat dikenal oleh manusia, maka manusia tidak dapat memberi nama kepadanya dan karena itu tidak dapat menulis namanya juga. Inilah yang dimaksud dengan tempat yang “tak bertulisan”.
Dalam ilmu pasti dan ilmu alam kerapsekalai dijumpai persoalan-persoalan mutlak, misalnya garis yang mendekati garis lain secara asymptotis, yaitu semakin lama semakin dekat, akan tetapi tidak akan dapat bertemu atau menyinggung saja ! Contoh lain ialah temperatur mutlak, yaitu temperatur 273 derajat Celcius dibawah nol, padanya segala gerak akan terhenti, sampai gerak molekul-molekul yang tidak akan dapat dilihat oleh manusia. Hingga sekarang manusia baru dapat menciptakan temperatur 272 derajat Celsius dibawah nol.
Nama Allah dan Muhammad dimana adanya ?? Pengertian akan Allah yang sebenarnya dan pengertian akan Muhammad, rasul-Nya dari sudut mystik baru dapat dicapai oleh manusia apabila ia sudah dapat menyadari pribadinya yang sebenarnya. Yang dimaksud dengan pribadi manusia bukanlah tubuhnya, perasaannya, akal atau fikirannya, persoonlijkheidnya atau individualeitnya yang semuanya dalam mystik hanya dipandang sebagai bayangan-bayangannya saja atau alat perlengkapan hidup saja. Ini semuanya hanya merupakan milik (milik = kepunyaan : hak) pribadi manusia, milik dan miliknya itu tentu bukan hal yang sama. Pangertian akan pribadi manusia itu dalam cerita wayang dikisahkan dalam cerita Dewa Ruci.
Jika nama Allah dan Muhammad tidak ada lagi, apa yang ada ?? Pribadi manusia telah terbenam dalam sifat-sifat Tuhan, manusia sudah bersatu dengan Tuhan, keadaan yang dapat dialami oleh para Nabi dan para orang Suci. (Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun).
Sekali menyingung sudah tamat. Manusia yang sekali, karena kemurahan Tuhan dapat bersinggungan dengan Tuhan, yaitu dengan penuh kesadaran dan keinsafan jiwanya diperkenankan menyaksikan kenyataan Tuhan, mendapat pegangan dalam hidup yang sentosa dan tidak memerlukan pegangan lain lagi. Ia tidak haus lagi akan bermacam-macam ilmu. Bagian pengejaran ilmu-ilmu itu sudah dibelakang, sudah selesai (tamat). Ia hanya akan berusaha untuk senantiasa menyadari kenyataan Tuhan.
Tanggal satu purnama sidi (bulan purnama). Paradok ini melukiskan saat manusia mendapatkan kesadaran akan Ilmu Kasunyatan atau Ilmu Hakiki, saat manusia mengerti dan sadar akan kenyataan Tuhan. Ilmu Kesunyataan, yang bagaikan cahaya yang gemilang menyinari hidup manusia yang memilikinya, sehingga segala persoalan hidup dan keilmuan menjadi terang benderang, sejak mulai dimakluminya (tanggal satu) meninari hidup manusia dengan sepenuhnya (bulan purnama.
7. Lawan sastra adi kang linuwih, Lawan Kur’an pira sastra nira, Estri priyadi tunggale, Lawan ingkang tumuwuh, Sapa njénéngakén sireki ? Duk sira palakrama, Kang ngawinkén iku ? Sira yen bukti punika, Sapandulang yen tan wéruha, sayékti Jalma durung utama.
Dan sastra indah utama yang tertinggi, Dan Al Qur’an berapa sastranya ? Wanita dan laki-laki utama ada perapa jumlahnya ? Dan berapa jumlah yang tumbuh ? Siapa yang memberi nama kepadamu ? Waktu kamu menikah. Siapa yang menikahkan ? Kalau makan siapa yang menyuapi ? Jika belum mengetahuinya, sebenarnya, Belum menjadi manusia yang utama.
——————————————–
Sastra atau tulisan disini digunakan sebagai gambaran kata-kata, yang pada hakikatnya tidak lain dari pada pernyataan perasaan dan fikiran manusia. Sastra ingdah-utama ialah kata yang pertama-tama, dengan disadari atau tidak timbul dalam batin manusia. Kata itu tidak lain daripada AKU, yaitu pernyataan akan kesadaran manusia, bahwa ia itu ada, sebagai sesuatu yang hidup. Kata-kata atau sastra lain baru dapat timbul apabila manusia sudah sadar akan Akunya. Barulah ia dapat berkata : AKU ADA, AKU HIDUP, AKU BERJALAN dan lain sebagainya.
Sastra yang ada dalam Al Qur’an hanya satu, yaitu Allah. Perempuan dan laki-laki utama hanya ada satu jodoh. Perempuan dan laki-laki disini digunakan sebagai lambang dari seluruh alam yang tergelar ini dan Allah menciptanya, yang meliputinya dengan segala kemurahan dan kasih-sayang-Nya.
Bagi mikrosmos laki-laki perempuan itu ialah lambang jiwa-raga. Jumlah yang tumbuh hanya satu, yaitu hidup.
8. Lawan angangsu pikulan warih,  Amek géni pan nganggo dédamar, Kodhok angémuli lenge, Rangka manjing ing dhuwung, Miwah baita mot ing jladri, Kuda ngrap ing pangéngan, Lan gigiring punglu, Tapake kuntul anglayang, Kakang mbarép miwah adhine wuragil, Tunjung tanpa sélaga.
Mencari air membawa sepikul air, Mencari api membawa pelita, Katan menyelubungi liangnya, Sarung masuk kedalam keris, Dan sampan berisi samudra, Kuda melonjak dimuka pandangan, Punggung peluru, dimana ? Bekas kuntul yang melayang-layang, Kakah si sulung , adik si bungsu, Teratai tidak berselaga (kelopak).
——————————–
“Mencari air membawa sepikul air. Mencari api membawa pelita”.
Kedua paradok ini dapat diberi arti yang sama. Air dan api disini digunakan sebagai lambang pengetahuan atau ilmu. Orang yang mencari ilmu harus sidah mempunyai modal ilmu dahulu, sekalipun hanya sedikit. Tidak ada orang yang mengejar keilmuan yang belum mempunyai dasar.
Air digunakan sebagai lambang pengetahuan, karena air dapat menyegarkan segala tumbuh-tumbuhan, hal mana sesuai dengan sifat ilmu yang menyinari hidup manusia.
Api mengeluarkan cahaya yang dapat memberi penerangan, sesuai dengan sifat ilmu yang menyinari hidup manusia.
Katak menyelubungi liangnya. Katak disini ialah lambang hidup manusia dan liangnya adalah tubuh manusia. Hidup manusia meresapi dan meliputi (menyelubungi) semua bagian tubuh manusia. Hidup, sebagai rasa, tidak hanya ada dibagian-dalam tubuh akan tetapi ada juga dibagian luar, kulit.
Sarung masuk kedalam keris. Maksudnya sama dengan paradok diatas. Sarung melambangkan tubuh manusia, keris hidupnya. Yang dimaksud sarung ialah sarung keris.
Sampan berisi samudra. Dalam samudera hidup yang memenuhi seluruh kosmos ini, semua benda, termasuk tubuh manusia, dapat dipandang sebagai sampan-sampan yang terapung-apung diatasnya. Hidup manusia (para Nabi), yang sudah dapat bersatu dengan Tuhan, memenuhi (berisi) seluruh alam (samudera) ini, akan tetapi berpusat dijasmaninya (sampan).
Kuda melonjak dimuka pandangan. Kuda ialah lambang nafsu dan fikiran manusia, yang dalam usaha manusia untu menguasai nafsu dan fikiran memberi perlawan yang keras dan melonjak-lonjak ibarat kuda. Pandangan disini ialah pandangan batin manusia. Pandéngan itu sebetulnya tiang (wantilan) yang ditanam orang ditengah rerumputan dimuka pendapa. Perlunya untuk mengikat kuda kecintaan sang adipati, agar dapat selalu dipandang, jika sang adipati sedang duduk didalam pendapa. Umumnya kuda yang diikat pada pandengan itu sudah jinak, jadi tidak melonjak-lonjak atau berlari-lari (ngerap).
Punggung peluru. Peluru jaman dahulu ialah gumpalan timah hitam yang berbangun bola, jadi tidak ada punggungnya. Akan tetapi sebaliknya dapat dikatakan, bahwa setiap setengah lingkaran meridian bola itu, ialah punggung peluru.
Masalah ini digunakan untuk melambangkan Tuhan, yang walaupun tidak dapat disaksikan ada dimana-mana.
Bekas kuntul yang melayang-layang. Kuntul ialah lambang fikiran manusia, yang sebagai burung yang dapat terbang, melayang-layang hingga sampai dibintang-bintang yang terjauh. Bekas fikiran terdapat dalam ingatan (geheugen) manusia, dan bekas fikiran tadi tajam dan dalam sekali apabila bertalian dengan pengalaman-pengalaman yang pahit.
Kakak sulung dan adik si bungsu. Paradok ini menggambarkan hubungan antara Tuhan dengan manusia. Tuhan sebagai pencipta seluruh alam ini terdahulu adanya dari pada Cipta-Nya yang pertama (kakak si sulung), akan tetapi Tuhan dapat dipandang juga sebagai adik si bungsu, ciptaan Tuhan yang terakhir, yaitu manusia, karena adanya sebutan Tuhan yang terakhir itu sesudah adanya manusia. Pendapat bahwa manusia itu ialah ciptaan Tuhan yang terakhir, sebagai makhluk yang sesempurna-sempurnanya sesuai dengan teori Darwin dan mendapat bukti-bukti juga dari sisa-sisa paleontologis yang dapat diketemukan sampai sekarang.
9. Lawan siti pinéndhém ing bumi, Miwah tirta kinum jroning toya, Lawan sréngenge pinepe, Lawan géni tinunu, Pan walanjar dereng akrami, Prawan adarbe suta, Ndhog bisa kaluruk, Jéjaka rabine papat, Pan wong mangan sabén dina-dina ngélih, Lawan mangan sapisan (pan wus marém).
Dan tanah yang tertanam dalam bumi, Atau air yang terendam dalam air, Dan matahari yang dijemur, Dan api yang dibakar, Serta janda yang belum pernah kawin, Gadis yang telah berputra, Telur dapat berkokok, Jejaka (bujang) beristeri empat, Dan orang makan setiap hari tetap lapar, Serta makan sekali sudah puas.
——————————————-
Tanah yang tertanam dalam bumi;  yang terendam dalam air; Matahari dijemur, api terbakar : keempat paradok ini melambangkan hidup manusia dan hidup yang penuh sesak mengisi seluruh alam ini, atau hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yaitu manusia dan Tuhan.
Janda belum pernah kawin. Terpisahnya dwitunggal, yang merupakan mula pertama dari segala keadaan dalam alam tergelar ini menjadi tenaga dan zat atau hidup dan kebendaan, atau Tuhan dan alam cipta-Nya, dikiaskan sebagai perceraian antara suami dan isteri.
Maka seluruh alam kebendaan ini, yang sejak terciptanya seolah-olah ditinggalkan oleh Penciptanya, yaitu Tuhan (karena Tuhan tidak terlihat), diibaratkan sebagai seorang janda. Janda (alam terbentang ini) dipandang belum pernah menikah (bersatu dengan Penciptanya, Allah), karena walaupun ciptaan dan pencipta itu mula-mula bersatu (kawin), persatuan (perkawinan) tadi tidak dialaminya dalam kesadaran. Persatuan (perkawinan) dalam kesadaran menurut agama baru akan terjadi pada hari yaumiddin (day of reckoning, dag der vergelding). Gambaran mengenai terpisahnya saba-mula yang pertama-tama menjadi alam terbentang dan Tuhan dilukiskan juga dalam cerita nabi Adam, ketika ia dalam surga menciptakan Ibu Hawa dari salah satu tulang rusuknya, yang sesuai dengan pandangan filsafat, bahwa Tuhan menciptakan seluruh alam ini daripada sebagian dari diri-Nya.
Gadis berputra. Paradok ini melukiskan peristiwa terjaganya (atau lahirnya) Tuhan dari kenikmatan yang dirasakan-Nya, sebelum pada-Nya timbuk Kehendak untuk menciptakan alam ini. Kenikmatan abadi, yang dipandang sebagai sabab-nula segala-galanya yang tidak dapat di singgung-singgungnya dengan akalnya pun, disini dilambangkan dengan gadis/perawan. Dalam agama Nasrani persoalan filsafat ini yang sebetulnya hanya merupakan suatu perlambang, rupa-rupanya dipandang sebagai betul-betul pernah terjadi.
Bujang beristeri empat. Melambangkan manusia biasa pada umumnya, yang hidup dengan keempat jenis nafsunya, yaitu Luamah, amarah, sufiah dan mutmainah. Manusia biasa digambarkan sebagai bujang, karena ia belum kawin dengan Ilmu Hakikat, Ilmu Kasunyatan. Dalam tradisi perguruan tinggi barat terdapat lukisan demikian. Seorang mahasiswa mula-mula mencapai gelar baccalaureat, bachelor atau bujang dulu. Pada masa itu ia belum dianggap menguasai ilmu yang dituntutnya dengan sepenuhnya. Sesudah ia menjalankan ujian yang tarakhir (doktoral) dapat membuktikan bahwa ia sudah betul-betul mahir dalam keilmuannya itu, ia mendapat gelar Master Of Science atau Master of Arts. Karena ia sudah benar-benar bersatu (kawin) dengan ilmunya, ia mendapat gelar Master, Tuan, majikan atau Rabbi dari ilmunya Wus ngrabeni ilmune.
Makan sekali puas. Manusia yang sudah sempurna pengetahuannya tentang Ketuhanan, atau dengan perkataan lain telah dapat menyaksikan dengan mata batinnya sendiri kenyataan adanya Allah, tidak haus lagi akan segala ilmu. Peristiwa ini yang dimaksudkan dengan “Makan sekali puas”.
10. Pan wus marém, miwah alam tafsir, Den wéwijang jroning sasmita, Apan puniku sémune. Ingkang samodra agung, Tampa tépi anérambahi.Éndi kang aran Allah ? Tan roro tétélu. Kawulane tanna wikan, Sirna luluh kang aneng datullah jati, Aran sagara Purba.
Dan sudah puas, serta alam tafsir, Diprinci sebagai petunjuk, Itulah lambangnya. Samudra yang luas, Tanpa tepi, meresapi seluruh alam. Manakah yang disebut Allah ? Tak ada lainnya (dua atau tiga).Makhluknya tidak ada yang menyadari,Karena sirna terlarut dalam datullah sejati, Yang disebut lautan kekuasaan.
11. Ana papan ingkang tanpa tulis. Wujud napi artine punika, Sampyuh ing solah sémune, Nir asma kawuleku, Mapan jati rasa séjati, Ing jro pandugeng toya, Marang ing Hyang Agung. Pangrasa sajroning rasa, Syéktine kang rasa nunggal lan urip, Urip langgéng dimulya.
Ada tempat yang tak bertulisan. Kosong mutlak artinya itu, Dalamnya lenyap terlarut dalam segala gerak dan semu. Hapus sebutan Aku karena, Masuk kedalam inti rasa sejati. Didalam tiada bangun (sadar), Kediaman Hyang Agung Perasaan masuk kedalam rasa, Sebenarnya rasa sudah bersatu dengan hidup, Hidup kekal serba nikmat.
—————————————–
Wujud napi, kosong mutlak, nirwana dalam agama Budha, tempat segala bentuk bangun dan sifat telah kembali keasal-mulanya. Nama hamba, yaitu Aku lenyap juga.
Taya = kosong atau ketiadaan, bandingkan dengan perkataan Sunda “teu aya” atau jawa kuna “taya”.
12. Sasmitane ingkang tunjung putih, Tanpa slaga inggih nyatanira, Rokhilafi satuhune. Datullah ananipun, Yeku sabda ingkang arungsit. Iku pan bangsa cipta, Hananira iku. Tandha kang darbe pratandha. Kang sumendhe, aja angrasani Gusti, Purwane munggweng wara.
Isyarat teratai putih, Tak berkelopak ialah kenyataan. Ruhilafi sebenarnya. Itulah adanya datullah, Itu, sabda yang sangat pelik. Itu kan perihal cipta, Adanya itu. Tanda yang mempunyai pertanda. Harus berserah, jangan mempercakapkan Tuhan, Mula hanya berpangkal pada ajaran saja.
—————————————
Teratai putih (lambang kesucian dan kemurnian) tak berkelopak mengibaratkan hidup yang tak bertubuh, meskipun tubuh halus atau ruh. Akal manusia dalam usahanya untuk mendapat  pengertian tentang Tuhan yang bersifat mutlak nyata nyata tak mencukupi.
Oleh karena itu percaya saja pada Tuhan, jangan mengupas-Nya. Segala kata untuk membatasi pengertian akan Tuhan tentu tidak tepat, apalagi karena segala pengetahuan kita tentang Tuhan tadi kebanyakan baru berdasarkan ajaran (warah-wuruk) saja, jadi belum berdasarkan persaksian batin.
13. Damar murup tanpa sumbu nénggih, Sémunira urup aneng karsa. Dat mutlak iku jatine ! Anglir tirta kamanu, Kadi pulung sarasa jati, Aranira iku. Nur Muhammad nuksma rasa, Rasa jati punika ingkang sayékti. Ya Allah, ya Muhammad.
Pelita menyala tidak ada sumbunya, Itu prlambanga nyala pada kehendak. Dat Mutlak itu sebenarnya ! Seperti air yang bercahaya.  Seperti wahyu dengan rasa sejati. Itulah bentuk tunggal, Yang disebut itu. Nur Muhammad menjelma menjadi Rasa. Rasa sejati itu sebenarnya. Ya Allah, ya Muhammad.
—————————————–
Bentuk tunggal : bandingkanlah dengan Allahu ahad.
14. Godhong ijo tanpa wréksa iki, Semunira ing masalah ing rat, Lah iya urip jatine. Dudu napas puniku, Dudu swara lan dudu osik, Dudu paningalira, Dudu rasa pérlu, Dudu cahya kantha warna, Urip jati iku, nampani sakalir, Langgéng tan kéna owah.
Daun hijau tidak berpohon, Itu lambang masalah alam. Yaitu hidup sejatinya. Bukan nafas itu, Bukan swara dan bukan gerak batin, Bukan pemandangan, Dan bukan rasa syahwat, Bukan cahaya, bangun atau warna. Itulah hidup sejati, yang menerima segala persaksian, Kekal tan ada ubahnya (tak dapat berubah).
———————————————–
Daun ialah lambang makhluk.
Hijau lambang hidup.
Pohonnya ialah Tuhan yang tidak dapat disaksikan.
15. Pasémne kang modin puniki, Pan bédhuge muhung aneng cipta, Iya ciptanira dhewe. Nanging sira puniku, Pan ingakén sulih Hyang Widi. Cipta iku Muhammad, Tinut ing tumuwuh. Wali, mukmin datan kocap. Jroning cipta Gusti Allah ingkang mosik, Unine : rasulullah.
Yang dilambangkan oleh modin itu, Karena akal berperanan bedug juga, Ialah akalmu sendiri. Akan tetapi kamu itu, Sebenarnya mewakili Hyang Widi juga. Akal itu Muhammad, Pemimpin hidupmu. Wali, mukmin tak disebut, Dalam cipta Allah yang bergerak, Suaranya rasulullah.
16. Lamun ménéng Muhammad puniki. Ingkang makmum apan jénéngira. Dene ta génti arane, Yen imam Allah iku, Ingkang makmum Muhammad jati. Iku rahsaning cipta, Sampurnaning kawruh. Imam mukmin pan wus nunggal, Allah samar Allah tétép kang séjati, Wus campuh nunggal rasa.
 Jika diam Muhammad itu, Yang makmum ialah kamu sendiri. Jika berganti nama, Allah sebagai imam, Yang makmum ialah Muhammad sejati. Itulah intisarinya cipta, Kesempurnaan ilmu. Imam mukmin sudah bersatu, Allah bayangan dan Allah tetap yang sejati, Sudah bercampur bersatu rasa.
———————————————————-
Dalam kehiningan sembahyang manusia yang dalam hidup sehari-hari dipimpin oleh akalnya (mind, verstand, denvermogen), dipimpin oleh hidupnya sejati, yang dalam bait ini dilambangkan oleh Muhammada Jati.
Selanjutnya yang bermakmum kepada Allah itu ialah Muhammad Jati (lambang sari hidup manusia).
Dalam kesempurnaan sembahyang (semadi yang lulus) terjadilah persatuan antara mukmin sejati (Muhammad Jati) dengan Imam Sejati (Allah).
Keadaan demikian seperti yang dilukiskan dalam bait diatas, kiranya yang dialami oleh para Nabi Besar, ketika mereka insaf akan pribadinya sebagai Rasulullah.
17. Ingkang ngawinakén sira iki, Iya Allah ngawinakén sira, Muhammad dadi waline, Jabrail Sahidipun. Sira kawin sajroning masjid, Saksine Johal Awal. Allah apulangyun, Pulangyun sajroning cipta. Sir kawine apanta ilmu Séjati, Iku sampurnaning Dat.
Yang mengawinkan kamu itu, Ialah Allah yang mengawinkan kamu, Muhammad jadi walinya, Sahidnya Jibril. Kamu kawin didalam masjid, Johar Awal saksinya. Allah telah bersatu, Bersatu dalam cipta. Maskawinnya ialah Ilmu Sejati, Itulah kesempurnaan Dat.
———————————————————-
Dalam mystik perkawinan itu sering digunakan sebagai lambang persatuan (manunggal) antara Tuhan dan manusia kekasihnya, suatu kejadian yang dalam Sholat Daim atau Semadi sering dialami oleh para Nabi Besar. Satu-satunya syarat untuk perkawinan itu ialah Ilmu Kasunyatan atau Ilmu Hakiki, yang harus menjadi milik manusia dahulu, sebelum ada kemungkinan akan terlaksananya cita-cita manusia yang tertinggi itu.
Bekas-bekas dari kepercayaan akan kemungkinan persatuan antara manusia dan Tuhan tadi masih  jelas dalam Agama Katholik. Para suster dan pastur ikhlas meninggalkan segala kenikmatan hidup keduniawian dan mempersembahkan hidup mereka dalam penghambaan kepada Tuhan, karena mereka berpengharapan di akhirat akan menjadi mempelai Yesus Kristus.
18. Sira nginum lan bukti puniki, Ilmuning Dat iku sayéktinya, Dat Mutlak iku arane. Yen sira wus angetung, Muhung Suksma kang bangsa urip, Urip ara Pangeran, Tan roro tétélu. Cahyane Ciptaning rasa, Rasanira asilém jroning jaladri, Urip langgéng dimulya.
Kamu minum dan makan itu, Ilmunya Dat itu yang sebenarnya, Dat mutlak itu namanya. Jika kamu sudah menghitung, Hanya Suksma yang tergolong hidup, Hidup sebetulnya Tuhan, Tiada dua atau tiga, Cahaya dari cipta dan rasa, Rasamu terselam dalam lautan, Hidup yang abadi dan mulia.
————————————————-
Dat atau Zat ialah perkataan Arab yang berarti pathi, sari atau inti. Ilmu Dat ialah tentang sebab mula segala keadaan dan kejadian dalam alam ini.
Dat mutlak ialah sebab mula yang pertama-tama, yang tidak dapat dikenal atau difahami oleh akal manusia. Dalam keagamaan Dat Mutlak itu Allah.
Ketika kamu minum dan makan, siapa yang menyuapmu ?? Pertanyaan ini mengingatkan kepada seremoni dalam Gereja Katholik kalau sedang diadakan misa suci. Dalam upacara ini para jemaah oleh Romo/Pastur disuap sepotong roti. Upacara ini mengikuti naluri (tradisi) yang telah mulai Jesus ketika ia mengadakan makan malam suci, yang merupakan perpisahannya dengan pengikut-pengikutnya. Pada malam itu ia memberikan minuman anggur dan makanan roti kepada pengikut-pengikunya sambil mengatakan bahwa roti itu bagian dari tubuhnya dan anggur itu darahnya. Upacara itu dinamakan komuni suci (holy communion) atau pemersatu suci. Yang menyuap para jama’ah ialah Jesus sendiri, dalam peranannya sebagai Allah ingkang Putra, yaitu Allah yang bertahta dalam hati sanubari manusia. Penyuapan roti anggur yang dinamakan holy communion itu merupakan lambang bagi manunggaling Kawula Gusti. Roti dan anggur jadi lambang Ilmu Kasunyatan, ilmu yang tidak dapat digrayang oleh akal manusia.
19. Ingkang bangsa suwara puniki, Ilmuning Dat lawan kanthi Allah, Ya iku tétép tapane. Sirnane roro iku, Sampurnaning panyipta jati. Iki sajroning rasa, Rasa apulangyun, Apulangyun rasaning rat. Sajroning rat sarira kahanan urip, Pan urip sajroning rat.
Yang tergolong ucapan itu, Ilmunya Dat serta dengan kehendak Allah, Yaitu yang kuat tapanya (tirakat). Sirnanya kedua hal itu, Kesempurnaan pencita sejati, Itu didalam rasa, Rasa yang bersatu, Bersatu dengan rasa alam. Dalam alam diri sendiri tersaksikan sebagai hidup, Dan hidup didalam alam.
20. Mulaning rat pyuh dadya kakalih, Apan kadi suksma jroning toya, Luwih angel péngrétine. Yen sira wus andulu, Jroning laut kang purweng jati, Iku sabdaning tingal, Sampurneng pandulu. Sirnaning rasa samudra, Ing sagara Purba ingkang anamadi, Gumlaring pramuditya.
Awal mulanya dunia terbagi menjadi dua, Ibarat suksma didalam air, Lebih sulit menyelaminya. Jika kamu sudah melihat, Dalam lautan kekuasaan yang sejati, Itulah firman yang terlihat, Kesempurnaan penglihatan. Sirnanya rasa samudera. Didalam samudera kekuasaan yang menyelubungi, Tergelarnya alam semesta.
————————————————–
Sebab mula yang pertama terjadinya seluruh alam ini ialah terbaginya menjadi dwitunggal, yaitu segala hal atau pengertian, yang merupakan pasangan-pasangan berlawanan (paar van tegenstelling).
Terbaginya menjadi dwitunggal itu, diibaratkan suksma dalam air. Dalam Ilmu Karang (filsafat), suksma itu diperlambangkan dengan air sehingga “seksma dalam air” berarti air dalam air, yang sulit sekali menyaksikannya. Ini tidak lain hanya untuk menggambarkan bahwa terbaginya menjadi dwitunggal yang pertama itu masih sangat sukar untuk dapat difahami dengan jelas oleh akal manusia. Dalam ajaran agama yang benar-benar mutlak itu hanya Tuhan.
Kata lain untuk “tingal” dalam bahasa Jawa maripat, yang asalnya dari bahasa Arab makrifat. Orang yang sudah makrifat ialah orang yang sudah dapat menyaksikan dengan mata jiwa sendiri segala hal yang hakiki (waarheid, truth). Bandingkang dengan kata arif !! Yang dimaksudkan dengan pramuditya ialah mikrokosmos atau dunia kecil. Dalam keadaan bersatu dengan Pemuranya (manunggaling Kawula Gusti) mikrokosmos meluasnya menjadi makrokosmos.
21. Tégése laku satindak iki, Ananira ingkang Johar Awal, Rasa Nur jati uripe. Ananing urip iku !! Anging Allah sifate Urip, Nunggal kahananira, Iku jatinipun. Uripnya padha kang ana, Ananing Hyang ingkang tansah anglimputi, Nadyan sasipatira.
Atinya laku perjalanan ini, Adanya dari Johar Awal,Dari Rasa Nur sejati hidupnya. Adanya hidup itu ! Yaitu Allah sifatnya hidup, Bersatu dengan keadaanmu, Iku yang sebenarnya, Adanya Tuhan yang selalu menyeliputi, Meskipun hanya sifat-Nya.
—————————————–
Johar Awal ialah bontang Venus atau Wrahaspati sebagi bintang pagi. Johar Akhir ialah Venus sebagai bintang malam (sore). Johar Awal ialah lambang Malaikat Jibril atau lambang kesadaran akan hidup sejati.
22. Tégése ménéng amangun éning, Ananira manuksma ing rasa, Rasa karsa sejatine. Iku suksmaning laut. Solah bawa sampun manunggil. Mapan solahing Allah, Ananira iku. Saosike iku Allah, Ingkang mobah, amurba mi seseng dhiri, Nyrambahi kang gumélar.
Artinya diam menciptakan kesunyian, Keadaamu merasuk didalam rasa, Rasa dan kehendak yang sejati. Itulah samuderanya suksma. Gerak gerik yang sudah bersatu. Dalam gerak Allah, Keadaanmu itu. Segala gerak itu Allah, Yang bergerak, mengusai diri, Melimputi semua yang tergelar.
————————————–
Manusia yang hidupnya semakin mendekati kesempurnaan tidak merasakan dirinya lagi sebagai pribadi tersendiri, akan tetapi semata-mata sebagai suatu alat yang digerakkan dan dijalankan oleh Allah (Man is but a tool in the hands of Good). Semua perbuatan dan tindakan yang dilakukannya sebagai wujud berbakti terhadap Allah yang menciptakan dan memeliharanya, lepas dari segala perhitungan akan kepentingan diri pribadi.
Inilah sebenarnya maksud dari kalimat “Bismillahirrohmanirrohim” yang hendak dilukiskan dalam bait terakhir ini dan sekali-kali tidak boleh diartikan “Aku (manusia) itu Allah”.

Tamat

Sumber : http://alangalangkumitir.wordpress.com

________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN TINGGALKAN PESAN ANDA DISINI