Selasa, 29 Maret 2011

kawruh-jawi: MEMAHAMI FILOSOFI LELUHUR JAWA

:________________________________________

kawruh-jawi: MEMAHAMI FILOSOFI LELUHUR JAWA Baca Selengkapnya...

________________________________________

Belajar dari Wejangan Nabi Khiddir pada Sunan Kalijaga

:________________________________________

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman hidup, baik itu pengalaman hidup pribadi maupun orang lain. Orang Jawa menyebut belajar pada pengalaman orang lain itu sebagai "kaca benggala". Nah, kini kita belajar pada pengalaman dari Kanjeng Sunan Kalijaga.


Ketika itu, Kanjeng Sunan Kalijaga yang juga dijuluki Syech Malaka berniat hendak pergi ke Mekkah. Tetapi, niatnya itu akhirnya dihadang Nabi Khidir. Nabi Khidir berpesan hendaknya Kanjeng Sunan Kalijaga mengurungkan niatnya untuk pergi ke Mekkah, sebab ada hal yang lebih penting untuk dilakukan yakni kembali ke pulau Jawa. Kalau tidak, maka penduduk pulau Jawa akan kembali kafir.

Bagaimana wejangan dari Nabi Khidir pada Kanjeng Sunan Kalijaga? Hal itu tercetus lewat Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Inilah kutipan wejangannya:


Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki


Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.

Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.


Ada pun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya

Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami


Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku

Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya Allah ana nireki.


Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu

Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi


Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.

Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.


Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup

Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (S.Kalijaga) den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.


mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.

Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut "mati sajroning ngahurip" dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Baca Selengkapnya...

________________________________________

MEMAHAMI FILOSOFI LELUHUR JAWA

:________________________________________


Leluhur masyarakat Jawa memiliki beraneka filosofi yang jika dicermati memiliki makna yang begitu dalam. Tetapi, anehnya filosofi yang diberikan oleh para leluhur itu saat ini dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Dibawah ini ada beberapa contoh filosofi dari para leluhur/nenek moyang masyarakat Jawa.

"Dadio banyu, ojo dadi watu" (Jadilah air, jangan jadi batu).

Kata-kata singkat yang penuh makna. Kelihatannya jika ditelaah memang manungso kang nduweni manunggaling roso itu harus tahu bagaimana caranya untuk dadi banyu.

Mengapa kita manusia ini harus bisa menjadi banyu (air)? Karena air itu bersifat menyejukkan. Ia menjadi kebutuhan orang banyak. Makhluk hidup yang diciptakan GUSTI ALLAH pasti membutuhkan air. Nah, air ini memiliki zat yang tidak keras. Artinya, dengan bentuknya yang cair, maka ia terasa lembut jika sampai di kulit kita.

Berbeda dengan watu (batu). Batu memiliki zat yang keras. Batu pun juga dibutuhkan manusia untuk membangun rumah maupun apapun. Pertanyaannya, lebih utama manakah menjadi air atau menjadi batu? Kuat manakah air atau batu?

Orang yang berpikir awam akan menyatakan bahwa batu lebih kuat. Tetapi bagi orang yang memahami keberadaan kedua zat tersebut, maka ia akan menyatakan lebih kuat air. Mengapa lebih kuat air daripada batu? Jawabannya sederhana saja, Anda tidak bisa menusuk air dengan belati. Tetapi anda bisa memecah batu dengan palu.

Artinya, meski terlihat lemah, namun air memiliki kekuatan yang dahsyat. Tetes demi tetes air, akan mampu menghancurkan batu. Dari filosofi tersebut, kita bisa belajar bahwa hidup di dunia ini kita seharusnya lebih mengedepankan sifat lemah lembut bak air. Dunia ini penuh dengan permasalahan. Selesaikanlah segala permasalahan itu dengan meniru kelembutan dari air. Janganlah meniru kekerasan dari batu. Kalau Anda meniru kerasnya batu dalam menyelesaikan setiap permasalahan di dunia ini, maka masalah tersebut tentu akan menimbulkan permasalahan baru.

"Sopo Sing Temen Bakal Tinemu"

Filosofi lainnya adalah kata-kata "Sopo sing temen, bakal tinemu" (Siapa yang sungguh-sungguh mencari, bakal menemukan yang dicari). Tampaknya filosofi tersebut sangat jelas. Kalau Anda berniat untuk mencari ilmu nyata ataupun ilmu sejati, maka carilah dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan menemukannya.

Namun jika Anda berusaha hanya setengah-setengah, maka jangan kecewa jika nanti Anda tidak akan mendapatkan yang anda cari. Filosofi di atas tentu saja masih berlaku hingga saat ini.

"Sopo sing kelangan bakal diparingi, sopo sing nyolong bakal kelangan"
(Siapa yang kehilangan bakal diberi, siapa yang mencuri bakal kehilangan).


Filosofi itupun juga memiliki kesan yang sangat dalam pada kehidupan. Artinya, nenek moyang kita dulu sudah menekankan agar kita tidak nyolong (mencuri) karena siapapun yang mencuri ia bakal kehilangan sesuatu (bukannya malah untung).

Contohnya, ada orang yang dicopet. Ia akan kehilangan uang yang dimilikinya di dalam dompetnya. Tetapi GUSTI ALLAH akan menggantinya dengan memberikan gantinya pada orang yang kehilangan tersebut. Tetapi bagi orang yang mencopet dompet tersebut, sebenarnya ia untung karena mendapat dompet itu. Namun,ia bakal dibuat kehilangan oleh GUSTI ALLAH, entah dalam bentuk apapun.

Dari filosofi tersebut, Nenek moyang kita sudah memberikan nasehat pada kita generasi penerus tentang keadilan GUSTI ALLAH itu. GUSTI ALLAH itu adalah hakim yang adil.
Baca Selengkapnya...

________________________________________

Minggu, 27 Maret 2011

( 1 ) SOPO ORA NANDANG SUKA LAN SUNGKAWA ?

:________________________________________

Para maos layang iki tak pastekake ora beda karo pangriptane layang iki; wis kerep kataman ing SUKA ( Bungah ) lan SUNGKAWA ( Susah ). Ora mung kerep wae, satemene panandang sing kita jenengi BUNGAH lan SUSAH kuwi pancen kita sandang sedina-dinam ing saben jam, saben menit, saben sekon.

Ujare kawruh BEGJA ( Kyai Ageng Surjamataram ) ; pancen lelakone wong urip kuwi mung gek bungah gek susah, gek bungah gek susah, mangkono sadina dinane. Ora ana wong bungah terus-terusan sing tanpa susah lan ora ono wong susah terus-terusan sing tanpa bungah. Ing sajroning bungah sing kaya ngapa wae banjur thukul susahe, ing sajroning susah sing tumpuk-tumpuk tumpang tindihya isih bisa tuwuh bungahe.

Miturut wewarahe kawruh mau, thukule BUNGAH  lan SUSAH  kuwi jalaran saka mulur mungkrete karep. Wong duwe kekarepan kuwi yen katekan BUNGAH yen ora katekan SUSAH. Mangka karep kuwi yen wis katekan mesti banjur mulur, mulur maneh lan mulur maneh nganti..........ora katekan. Kosok baline karep kui yen ora katekan mesti banjur mungkret, mungkret maneh, mungkret maneh, nganti.......katekan.

Mulane lelakone yo mung gek bungah gek susah - gek bungah gek susah, mangkono wae janji ish urip ora nganggo mikir.

Teruse wedare kawruh mau: lalakon gek bungah gek susahh kuwiwong sajagad-rat iki pada wae, ora ana bedane babar pisan, antarane RATU karo KERE, Wali Karo Bajingan. Mung wae SABABE lan WUJUDE

Ana Candhake................................. Baca Selengkapnya...

________________________________________

Sabtu, 26 Maret 2011

AJI PAMELENG

:________________________________________

Tegesipun aji = ratu, pameleng = pasamaden; mengku pikajeng : tandaning sedya ingkang luhur piyambak. Dene empaning pandamelan wau winastan manekung, pujabrata, mesu budi, mesu cipta, ngeningaken utawi angluhuraken paningal, matiraga lan sasaminipun.

Papan ingkang kangge nindakaken wau panepen, panekungan, pamujan, pamurcitan, pamursitan, pahoman, paheningan lan sanes-sanesipun. Dene wedharing kawruh winastan daiwan, dawan, tirtaamerta, tirtakamandhanu, tirtanirwala, mahosadi, kawasanan, kawaspadan, kawicaksanaan, sastracetha, utawi sastrajendrayuningr at pangruwating diyu lan sapanunggalanipun.
Menggah pigunanipun kawruh lan pandamel wau, perlu kangge sarananing panembah murid manggih kawilujengan, margi saged anindakaken dhateng sawarnaning pandamel sae, punapadene kangge sarana duk kita darbe sedya nunuwun kanugrahaning gesang kita pribadi (Pangeran), inggih nunuwun bab punapa kemawon ingkang limrah kenging linampahan saking pandamel kita ingkang boten tilar murwat.
Wondene purwanipun ing jagad teka wonten kawruh pasamaden, bilih miturut saking tembung-tembungipun , sanyata kathah ingkang nagngge basa Sansekrit; yen makaten tetela manawi wimbaning kawruh pasamaden wau saking tumitising kawicaksananipun bangsa Indhu ing jaman kina makina, ingkang sampun boten kasumerepan petang ewoning taun. Bokmanawi kemawon papantaranipun kalihan nalika bangsa Indhu amurwani iyasa candhi dalah reca-recanipun. Dene kawruh wau ing sakawit inggih namung kangge bangsa Indhu, boten nawang bangsa Indhu ingkang agami punapa kemawon, katamtokaken mesthi ngrasuk pasamaden. Awit inggih namung kawruh pasamaden punika ingkang dados mukaning saliring kawruh sajagad, lan ugi dados pangajenging piwulan agami.
Ing ngalami lami bangsa Indhu sami lumeber dhateng ing Tanah Jawi lan sanes sanesipun, serta sami anggelaraken agaminipun tuwin kawruh sanes sanesipun; makaten ugi kawruh pasamaden inggih boten kantun. Kawruh pamasaden wonten ing Tanah Jawi saget ngrembaka tuwuhipun, margi bangsa Jawi tan pilih drajad sami remen puruita lan saged nandangaken dating pangolahing kawruh punika, awit kawruh wau saget nocoki kalihan dhadhasaring pamanahipun titiyang Jawi, mila kalayan gampil rumasukipun wonten ing balung sungsuming titiyang Jawi. Kasembuh malih saking kathahing bangsa Indhu kados sinuntak sami angajawi, nedya anggelar agami Jawi lan kawruh kawicaksananipun. Bebasan sakedeping netra, bangsa Jawi ing sa’indhengipun maratah sampun sami angrasuk agami Indhu, lan ugi sampun sami saget ngraosaken kabegjan, kamulyan, kawilujengan lan sasaminipun, margi saking wohing kawruh pandamel wau.
Ing wusana katungka dhatengipun titiyang bangsa Arab sami lumebet ing Tanah jawi, ingkang ugi ambekta kawruh lan agaminipun Mohammad, kasebut agami Islam, temah nyunyuda tumangkaring agami Indhu, sebab lajeng wonten ingkang angrasuk agami Islam. Namung kemawon wedharing agami Islam boten andarbeni kawruh pasamaden, kados kasebut ing nginggil.
Sareng golonganipun tiyang Islam sampun saget ngendhih Nagari, inggih punika adeging Karaton Bintara (Demak), ing ngriku lajeng angawisi kalayan kenceng, titiyang Jawi boten kenging anindakaken kawruh pasamaden, mekaten ugi sami kinen nilar agaminipun lami, serta kedah santun angrasuk agami Islam.
Ananging boten ta manawi bangsa Jawi lajeng anut purun santun agami Islam sadaya, purunipun wau namung margi saking ajrih paukuman wisesaning Nata, dados Islam-ipun wau namung wonten ing lahir kemawon, utawi Islam pangaran-aran, yen batosipun taksih angrungkepi agamipun lami. Milo bab kawruh pasamaden inggih taksih lajeng katindakaken, ananging pamulang pamedharing kawruh pasamaden wau, ingkang karan nama wejangan (wijang-wijang) sarana lampah dhedhemitan, katindakaken ing wanci ndalu sasampunipun jam 12, ugi papaning pamejang boten kenging kaubah wangon, kadosta ing ara-ara, ing wana, ing lepen lan sasaminipun ing papan ingkang sepen. Pamejangipun srana bisikan boten kenging kapireng ngasanes, sanadyan suket godhong, kewan tuwin bangsanipun gegremetan kutu-kutu walangataga ugi boten kenging miring, yen miring lajeng malih dados manungsa. Mila linggihipun Kyai Guru ajeng-ajengan aben bathuk kaliyan pun murid, serta sanget pamantos-mantosipun Kyai Guru, pun murid boten kenging nularaken wewejanganipun (kawruhipun) dhateng tiyang sanes, bilih dereng angsal palilah Guru, yen nerak bade angsal wilalat manggih sapudendhaning Pangeran. Panindak ingkang mekaten punika, purwanipun namung tetep kangge panjagi, supados pamulanging kawruh pasamaden boten katupiksan dhateng pamarintahing agami Islam. Sebab yen ngantos kasumerepan, tamtu manggih pidana.
Dumuginipun ing jaman samangke, sanadyan Nagari sampun boten angarubiru dhateng wontenipun wewejangan kawruh pasamaden, nanging panindaking wejangan wau taksih kalestantunaken sarana dhedhemitan kados kawursita ing nginggil. Mila lajeng angsal paparab saking panyedaning titiyang ingkang boten remen, utami tiyang ingkang anglampahi sarengating agami Islam, bilih wontening wejangan kawruh pasamaden wau lajeng kawastan ilmu klenik. Purwo saking tembung klenik, lajeng angandhakaken tembung abangan lan putihan. Ingkang kasebut abangan punika tiyang ingkang boten nindakaken saraking agami Islam, dene putihan mastani tiyang Jawi ingkang teluh manjing agami Islam sarta anglampahi sadaya sarak sarengating agami Islam wau, inggih punika ingkang kasebut nama santri. Mila santri karan putihan, margi miturut panganggenipun titiyang agami Islam, bilih santri punika sarwo-sarwi langkung resik utawi suci tinimbang kaliyan titiyang ingkang boten angrasuk agami Islam.
Mangsuli wontening kawruh pasamaden anggenipun sanget winados, menggah ingkang dados sababipun kapretalakaken ing nginggil. Dene yen saleresipun ingkang nama wados-wados wau pancen boten wonten; dados inggih kenging-kenging kemawon kawulangaken dhateng sok tiyanga, boten mawang nem sepuh, serta kenging kawejangaken ing sawanci-wancinipun, uger tiyang wau pancen ambetahaken kawruh pasamaden kasebat. Sebab wontenipun sadaya punika supados kasumerepan dhateng ingakathah, langkung-langkung kawruh pasamaden punika ingkang sanyata dados mukaning sadaya kawruh. Mila wajib sinebar dados seserepaning tiyang nem sepuh wadarin ing saindengipun, tanpa nawang andhap inggiling darajadipun.
Amarengi wahyaning mangsakala, wusana wonten kaelokaning lalampahan ingkang boten kanyana-nyana; ing pawingkingipun bab kawruh pasamaden wau lajeng muncul katampen dhateng tiyang Islam, margi yakin bilih kawruh pasamaden wau, pancen musthikaning gagayuhan ingkang saged andhatengaken ing kawilujengan, kamulyan, katentreman, lan sasaminipun. Mila kawruh wau dening tiyang ingkang sampun suluh papadhanging raosipun inggih punika Seh Sitijenar, ingkang ugi dados pramugarining agami Islam apangkat Wali, lajeng kadhapuk ing ndalem serat karanganipun, ingkang lajeng winastan daim, wirid saking tembung daiwan kasebut ing nginggil. Punapadene lajeng kaewoaken dados saperanganing panembah, sarana dipun wewahi tembungipun, lajeng mungel : salat daim (salat – basa arab, daim saking daiwan basa Sansekrit). Milanipun dipun wewahi basa arab, namung kawigatosan kangge mikekahaken kapitadosanipun murid-muridipun ingkang sampun sami necep agami Islam. Punapadene tembung salat lajeng kapilah kalih prakawis. Sapisan salat 5 wekdal, kasebut salat sarengat, ateges panembah lahir. Kaping kalih salat daim, punika panembahing batos; mangertosipun : anekadaken manunggaling pribadinipun, utawi kasebut loroning atunggil.
Kitab karanganipun Seh Sitijenar wau lajeng kangge paugeraning piwulang. Sareng sampun angsal kawigatosaning ngakathah, ing ngriku salat limang wekdal lan sarak agami sanes-sanesipun lajeng kasuwak boten kawulangaken babar pisan. Ingkang pinindeng namung mumuruk tumindaking salat daim kemawon. Mila titiyang Jawi ingkang suwau manjing agami Islam, langkung-langkung ingkang dereng, lajeng sami ambyuk maguru dhateng Seh Sitijenar, margi piwulangipun langkung gampil, terang lan nyata.
Wondene purwanipun Seh Sitijenar kaserenan kawruh pasamaden, ingkang mijeni Kyai Ageng Pengging, sebab Seh Sitijenar punika mitradarmanipun Kyai Ageng Pengging. Kawruh asamaden, dening Seh Sitijenar lajeng katularaken Raden Watiswara, inggih Pangeran Panggung, ingkang ugi apangkat Wali. Lajeng tunimbal dhateng Sunan Geseng, inggih Ki Cakrajaya, tiyang asal saking Pagelen, ingkang kacarios saderengipun dados Wali, Ki Cakrajaya wau pandamelanipun anderes nitis gendhis. Salajengipun sumrambah kawiridaken dhateng ingakatah. Makaten ugi sakabat-sakabatipun Seh Sitijenar ingkang sampun kabuka raosipun, dening Seh Sitijenar kinen sami madeg paguron amiridaken kawruh pasamaden wau. Sangsaya dangu sangsaya ngrebda, anyuremaken panguwaosing para Wali, anggenipun amencaraken piwulang agami Islam. Yen kalajeng-lajeng masjid saestu badhe suwung.
Ngawekani sampun ngantos wonten kadadosan ingkang makaten, temah Kyai Ageng Pengging tuwin Seh Sitijenar sasekabatipun ingkang sami pinejahan katigas jangganipun dening para Wali, saking dhawuhipun Sultan Demak. Makaten ugi Pangeran Panggung boten kantun, kapidana kalebetaken ing brama gesang-gesangan wonten samadyaning alun-alun Demak, kangge pangewan-ewan murih titiyang sami ajrih, lajeng sami mantuni utawi nglepeh piwulangipun Seh Sitijenar.
Kacariyos sariranipun Pangeran Panggung boten tumawa dening mawerdining Hyang Brama, lajeng oncat medal saking salebeting latu murub, nilar nagari Demak. Kanjeng Sultan Bintara tuwin para Wali sami kablerengen kaprabawan katiyasaning Pangeran Panggung, temah kamitenggengen kadi tugu sinukarta. Sareng sampun sawatawis tebih tindakipun Sang Pangeran, Kanjeng Sultan tuwin para Wali saweg sami enget bilih Pangeran Panggung kalis saking pidana, temah sami rumaos kawon angsal sihing Pangeran. Katungka unjuking wadyabala, atur uninga bilih Sunan Geseng, inggih Ki Cakrajaya, kesah anututi lampahipun Pangeran Panggung. Ing ngriku Kanjeng Sultan katetangi dukanipun, temah dhawahing bendu, para sakabat tuwin murid-muridipun Seh Sitijenar ingkang kapikut lajeng sami pinejahan. Ingkang boten kacepeng sami lumajar pados gesang.
Para sakabatipun Seh Sitijenar ingkang taksih wilujeng kakantunanipun ingkang sami pejah, ugi taksih sami madeg paguron nglestantunaken pencaring kawruh pasamaden, nanging mawi sislintru tinutupan wuwulang sarengating agami Islam, murih boten ka’arubiru dening para Wali pramugarining praja. Dene piwulangipun kados ing ngandhap punika :
Pamulanging kawruh pasamaden ingkang lajeng karan salat daim, karangkepan wuwulang salat limang wekdal tuwin rukuning Islam sanes- sanesipun malih. Wewejanganipun salat daim wau lajeng winastan wiridan naksobandiyah, dene panindaking piwulang kawastan tafakur. Saweneh wonten ingkang pamulangipun ing saderengipun para murid nampi wiridan salat daim, langkung rumiyin kalatih lampah dhidhikiran lan maos ayat-ayat. Wiwit punika wuwulangan pasamaden
lajeng wonten wanrni kalih, inggih punika :

1. Piwulang pasamaden wiwiridan saking para sekabatipun Seh Sitijenar, ingkang sarana tinutupan utawi aling-aling sarak rukuning agami Islam. Wuwulangan wau dumuginipun ing jaman samangke sampun mleset saking jejer ing sakawit, mila para guru samangke, ingkang sami miridaken kawruh pasamaden, ingkang dipun santuni nama naksobandiyah utawi satariyah, nginten bilih kawruh wau wiwiridan saking ngulami ing Jabalkuber (Mekah). Salajengipun para Kyai guru wau, amastani guru klenik dhateng para ingkang sami miridaken kawruh pasamaden miturut wawaton Jawi pipiridan saking Seh Sitijenar. Punapadene para Kyai guru wau nyukani paparab nama Kiniyai, pikajengipun : guru ingkang mulangaken ilmuning setan. Dene nama Kyai, punika guru ingkang mulangaken ilmuning para nabi.

2. Piwulang pasamaden miturut Jawi, wiji saking Kyai Ageng Pengging, ingkang kapencaraken dening Seh Sitijenar (ingkang ing samangke karan klenik), punika ing sakawit, ingkang dados purwaning piwulang, dumunung wonten panggulawenthahing wawatekan 5 prakawis, kados ing ngandhap punika :
1. Setya tuhu utawi temen lan jujur.
2. Santosa, adil paramarta, tanggeljawab boten lewerweh.
3. Leres ing samubarang damel, sabar welas asih ing sasami, boten ngunggul-unggulaken dhirinipun, tebih saking watak panganiaya.
4. Pinter saliring kawruh, langkung-langkung pinter ngecani manahing sasami-sami, punapadene pinter angereh kamurkaning manah pribadi, boten anguthuh melik anggendhong lali, margi saking dayaning mas picis rajabrana.
5. Susila anor-raga, tansah nganggeni tatakrami, maweh rereseping paningal tuwin sengseming pamiharsa, dhateng ingkang sami kataman.
Lampah limang prakawis wau kedah linampahan winantu ing pujabrata anandangaken ulah samadi, inggih amesu cipta angeningaken pranawaning paningal. Awit saking makaten punika mila tumrap panindaking agami Jawi (Buda), bab kawruh pasamaden tuwin lampah limang prakawis wau kedah kawulangaken dhateng sadaya titiyang enem sepuh boten pilih andhap inggiling darajatipun. Mila makaten, sebab musthikaning kawruh tuwin luhur-luhuring kamanungsan, punika bilih tetep samadinipun, kuwasa anindakaken lampah 5 prakawis kados kawursita ing nginggil. Temah kita manggen ing sasananing katrenteman, dene wontening katentreman mahanani harja kerta lan kamardikan kita sami. Yen boten makaten, ngantos sabujading jagad, kita badhe nandhang papa cintraka, kagiles dening rodha jantraning jagad, margi kacidraning manah kita pribadi.
Bab kawruh pasamaden ingkang lajeng karan wiridan naksobandiyah lan satariyah, ingkang ing nguni wiwiridan saking Seh Sitijenar, sampun ka’andharaken ing nginggil, namung kemawon tumandangipun boten kawedharaken. Ing riki namung badhe anggelaraken lampah umandanging samadi sacara Jawi, ingkang dereng kacarobosan agami sanes, inggih punika makaten :
Para nupiksa, mugi sampun kalintu panampi, bilih samadi punika angicalaken rahsaning gesang utawi nyawanipun (gesangipun) medal saking badan wadhag. Panampi makaten punika, purwanipun mirid saking cariyos lalampahanipun Sri Kresna ing Dwarawati, utawi Sang Arjuna yen angraga-suksma. Mugi kawuninganana, bilih cariyos makaten punika tetep namung kangge pasemon utawi pralambang.
Ing samangke wiwit wedharaken lampahing samadi makaten : tembung samadi = sarasa – rasa tunggal – maligining rasa – rasa jati – rasa nalika dereng makarti. Dene makartining rasa jalaran saking panggulawenthah utawi piwulang, punapadene pangalaman-pangalam an ingkang tinampen utawi kasandhang ing sadinten-dintenipun . Inggih makartining rasa punika ingkang kawastanan pikir. Saking dayaning panggulawenthah, piwulang tuwin pangalaman-pangalam an wau, pikir lajeng gadhah panganggep awon lan sae, temah anuwuhaken tatacara, pamacak lan sanes-sanesipun ingkang lajeng dados pakulinan. Punapa panganggep awon sae, ingkang sampun dados tata-cara margi sampun dados pakulinan punika, yen awon inggih awon sayektos, yen sae inggih sae temenan, punika dereng tamtu, jer punika namung pakulinaning panganggep. Dene panganggep, boten yekti, tetep namung ngenggeni pakulinaning tata-cara, dados inggih dede kajaten utawi kasunyatan. Menggah pikajenganipun samadi ing riki, boten wonten sanes namung badhe nyumerepi kajaten, dene sarananipun boten wonten malih kajawi nyumerepi utawi anyilahaken panganggep saking makartining rasa, kasebut sirnaning papan lan tulis. Inggih ing riku punika jumenenging rasa jati kang nyata, kang yekti, kang weruh tanpa tuduh. Wondene kasembadanipun kedah angendelaken ing saniskara, sarana angereh solahing anggota (badan). Mangrehing anggota wau ingkang langkung pikantuk kalihan sareyan malumah, saha sidhakep utawi kalurusaken mangandhap, epek-epek kiwa tengen tumempel ing pupu kiwa tengen, suku ingkang lurus, dalamakan suku ingkang tengen katumpangaken ing dalamakan suku kiwa, mila lajeng kasebut sidhakep suku (saluku) tunggal. Punapadene angendelna ebahing netra (mripat), inggih punika ingkang kawastanan meleng. Lampah makaten wau ingkang kuwasa ngendelaken osiking cipta (panggagas), tuwin amuntu ilining rahsa, dene pancering paningal kasipatna amandeng pucuking grana medal saking sa’antawising netra kakalih, inggih punika ing papasu, dene pamandengipun kedah kalayan angeremaken netra kakalih pisan.
Sasampunipun lajeng nata lebet wedaling napas (ambegan) makaten : panariking napas saking puser kasengkakna minggah anglangkungi cethak ingga dumugi ing suhunan (utek = embun-embunan) , sarta mawi kaendelna ing sawatawis dangunipun. Sumengkanipun napas wau kadosdene darbe raos angangkat punapa-punapa, dene temenipun ingkang kados kita angkat, punika ilining rahsa ingkang kita pepet saking sumengkaning napas wau, menawi sampun kraos awrat panyangginipun napas, inggih lajeng ka’edhakna kalayan alon-alon. Inggih patrap ingkang makaten punika ingkang kawastanan sastracetha. Tegesipun cetha = empaning kawruh, cetha = antebing swara cethak, inggih cethaking tutuk kita punika. Mila winastan makaten, awit duk kita mangreh sumengkaning napas anglangkungi dhadha lajeng minggah malih anglangkungi cethak ingga dumugi suhunan. Menawi napas kita dipun ereh, dados namung manut lampahing napas piyambak, tamtu boten saget dumugi ing suhunan, margi saweg dumugi ing cethak lajeng sampun medhak malih. Punapadene ugi winastan daiwan (dawan), pikajengipun : mangreh lebet wedaling napas ingkang panjang lan sareh, sarwi mocapaken mantra sarana kabatos kemawon, inggih punika mungel `hu’ kasarengan kalihan lumebeting napas, inggih panariking napas saking puser, minggah dumugi ing suhunan. Lajeng `ya’, kasarengan kalihan wedaling napas, inggih medhaking napas saking suhunan dumugi ing puser, minggah mandhaping napas wau anglangkungi dhadha lan cethak. Dene, anggenipun kawastanan sastracetha, margi nalika mocapaken mantra sastra kakalih : hu – ya, wedaling swara ingkang namung kabatos wau, ugi kawistara saking dayaning cethak. (Ungeling mantra utawi panebut kakalih : hu – ya, ing wiridan naksobandiyah kaewahan dados mungel, hu – Allah, panebutipun ugi kasarengan lampahing napas. Dene ing wiridan satariyah, panebut wau mungel : hailah – haillolah, nanging tanpa angereh lampahing napas).
Menggah lebet medaling napas kados kasebut ing nginggil, sa’angkatanipun namung kuwasa angambali rambah kaping tiga, mila makaten, awit napas kita sampun boten kadugi manawi kinen anandangana malih, jalaran sampun menggeh-menggeh. Dene manawi sampun sareh, inggih lajeng ka’angkatana malih, makaten salajengipun ngantos marambah-rambah sakuwawinipun, margi saya kuwawi dangu, sangsaya langkung prayogi sanget. Dene sa’angkataning pandamel wau kawastan : tripandurat, tegesipun tri = tiga, pandu = suci, rat = jagad – badan – enggen, suraosipun : kaping tiga napas kita saget tumameng ing ngabyantaraning ingkang Maha suci manggen ing salebeting suhunan (ingkang dipun suwuni). Inggih punika ingkang kabasakaken paworing kawula Gusti, tegesipun : manawi napas kita sumengka, kita jumeneng gusti, yen tumedhak, wangsul dados kawula. Bab punika para nupiksa sampun kalintu tampi ! Menggah ingkang dipun wastani kawula gusti punika dede napas kita, nanging dayaning cipta kita. Dados ulah samadi punika, pokokipun kita kedah amanjangaken panjing wijiling napas (lebet wedaling napas), kalihan angeningaken (ambeningaken) paningal, sebab paningal punika kadadosan saking rahsa.
Wondene patraping samadi kados kasebut ing nginggil wau, ugi kenging karancagaken, uger kita tansah lumintu tanpa pedhot mangeh panjing wijiling napas, kalihan lenggah, lumampah, utawi nyambutdamel inggih kedah boten kenging tilar mangreh lebet wedaling napas wau, ingkang sarana mocapaken mantra mungel : hu – ya, kados ingkang kajarwa ing nginggil.
Kajawi punika, wirid saking tembung daiwan punika ugi taksih darbe maksud sanesipun malih, inggih punika ateges panjang tanpa ujung, utawi ateges langgeng. Dene pikajengipun amastani bilih wontening napas kita punika sanyata wahananing gesang kita ingkang langgeng, inggih wontening ambegan kita. Dene ambegan punika, sanyata wontening angin ingkang tansah mlebet medal tanpa kendel, ingkang sasarengan kalihan keketeg panglampahing rah (roh). Bilih kakalih wau kendel boten makarti nama pejah, inggih risaking badan wadhag wangsul dados babakalan malih. Mila sayogyanipun lampahing napas inggih ambegan kita ingkang tansah mlebet medal tanpa kendel, kedah kapanjang-panjangan a lampahipun, murih panjanga ugi umur kita, temah saget awet wonten ing donya tutug panyawangipun dhateng anak, putu, buyut, canggah, wareng, ingkang babranahan.
Wontenipun andharan ing nginggil, mratelakaken bilih kawruh pasamaden punika sanyata langkung ageng pigunanipun, mila lajeng sinebut sastrajendrayuningr at pangruwating diyu. Tegesipun sastra = empaning kawruh, jendra = saking panggarbaning tembung harja endra. Tegesipun harja = raharja, endra = ratu – dewa, yu = rahayu – wilujeng, ningrat = jagad – enggen – badan. Suraosipun : Musthikaning kawruh ingkang kuwasa amartani ing karahayon, kaharjan, katentreman lan sapatunggalipun. Dene tegesesipun pangruwating diyu = amalihaken diyu; dene diyu = danawa – raksasa – asura – buta, punika kangge pasemoning piawon, penyakit, rereget, babaya, pepeteng, kabodhohan lan sanesipun. Dados diyu punika kosokwangsulipun dewa, engkang ateges pinter, sae, wilujeng lan sapanunggilipun. Mengku suraos amastani ingkang saget anyirnakaken saliring piawon tuwin samubarang babaya pekewed. Mangertosipun, sinten ingkang tansah ajeg lumintu anandangaken ulah samadi, punika bilih ing suwaunipun tiyang awon, lajeng sirna piawonipun, malih dados tiyang sae lampahipun. Tiyang sakit sirna sakitipun, dados saras, tiyang murka daksiya lajeng narimah sabar, welasasih. Tiyang goroh lajeng dados temen. Tiyang bodho dados pinter. Tiyang pinter dados pinter sanget. Makaten ugi tiyang golongan sudra dados waesia, waesia dados satriya, satriya dados brahmana, brahmana sumengka pangawak braja asarira bathara.

Baca Selengkapnya...

________________________________________

TANDA-TANDA PENCAPAIAN NENG, NING, NUNG, NANG

:________________________________________


TINGKAT 1 (Neng; sembah raga)
Jumeneng; menjalankan “syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas. Yakni dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial “horisontal” kepada sesama makhluk. Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang dan manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun sikap eling dan waspadha. Neng adalah tingkat dasar, barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air, mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan, tradisi siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui pernyataan dan ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll. Melatih diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli kasih, kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara ritual, ruwatan bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan BATIN kita secara benar dan tepat.

Kehidupan sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi, artinya harus berbuat apa saja yg bukan perbuatan melawan rumus Tuhan. Tidak hanya berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal, menurut ayat dst. Namun berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan sehari-hari. Perbuatannya mencerminkan perilaku sipat zat (makhluk) yang selaras dengan sifat hakekat (Tuhan). Tanda pencapaiannya tampak pada SOLAH. Solah artinya perilaku atau perbuatan jasadiah yang tampak oleh mata misalnya; tidak mencelakai orang lain, perilaku dan tutur kata menentramkan, sopan dan santun, wajah ramah, ngadi busana atau cara berpakaian yang pantas dan luwes menghargai badan. Akan tetapi perilaku tersebut belum tentu dilakukan secara sinkron dengan BAWA-nya. BAWA yakni “perilaku” batiniah yang tidak tampak oleh mata secara visual.

Titik Lemah
Pada tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun belum menjamin pencapaian tataran spiritual yang memadai, dan belum tentu diberkahi Tuhan. Sebab seseorang melakukan kebaikan terkadang masih diselimuti rahsaning karep atau nafsu negatif; rasa ingin diakui, mendapat nama baik atau pujian. Bahkan seseorang melakukan suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka akibat yang sering timbul biasanya muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila tidak diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan seperti ini boleh jadi bermanfaat dan mungkin baik di mata orang lain. Akan tetapi dapat diumpamakan belum mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point nya masih nihil. Banyak orang merasa sudah berbuat baik, beramal, sodaqah, suka menolong, membantu sesama, rajin doa, sembahyang. Tetapi sering dirundung kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya mengalami kebuntuan dan kegagalan. Lantas dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi orang-orang beriman).
Pada tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an (api/nar/iblis). Diri sendiri dianggap tahu segala, merasa suci dan harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir. Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit luarnya) ia menganggap diri paling benar dan suci, lantas muncul sikap golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Ini sebagai ciri seseorang yang belum sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung becus keselak besus !

TINGKAT 2 (Ning; sembah kalbu)
Wening atau hening; ibarat mati sajroning urip; kematian di dalam hidup. Tataran ini sepadan dengan tarekat. Menggambarkan keadaan hati yang selalu bersih dan batinnya selalu eling lan waspadha. Eling adalah sadar dan memahami akan sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan manusia) yang digambarkan sebagai “kakangne mbarep adine wuragil” (lihat dalam posting; Saloka Jati). Waspadha terhadap apa saja yang dapat menjadi penghalang dalam upaya “menemukan” Tuhan (wushul). Yakni penghalang proses penyelarasan kehidupan sehari-hari (sifat zat) dengan sifat hakekat (Tuhan). Ning dicapai setelah hati dapat dilibatkan dalam menjalankan ibadah tingkat awal atau Neng; yakni hati yg ikhlas dan tulus, hati yang sudah tunduk dan patuh kepada sukma sejati yang suci dari semua nafsu negatif. Hati semacam ini tersambung dengan kesadaran batin maupun akal budi bahwa amal perbuatan bukan semata-mata mengaharap-harap upah (pahala) dan takut ancaman (neraka). Melainkan kesadaran memenuhi kodrat Tuhan, serta menjaga keharmonisan serta sinergi aura magis antara jagad kecil (diri pribadi) dan jagad besar (alam semesta). Tataran ini dicapai melalui empat macam bertapa; tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara, tapa mendhem atau ngluwat.
1. Tapa ngeli; harmonisasi vertikal dan horisontal. Yakni berserah diri dan menselaraskan dengan kehendak Tuhan. Lalu mensinergikan jagad kecil (manusia) dengan jagad besar (alam semesta).
2. Tapa geniara; tidak terbakar oleh api (nar) atau nafsu negatif yakni ke-aku-an. Karena ke-aku-an itu tidak lain hakekat iblis dalam hati.
3. Tapa banyuara; mampu menyaring tutur kata orang lain, mampu mendiagnosis suatu masalah, dan tidak mudah terprovokasi orang lain. Tidak bersikap reaksioner (ora kagetan), tidak berwatak mudah terheran-heran (ora gumunan).
4. Tapa mendhem; tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amalnya sendiri. Terhadap sesama selalu rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar bahwa manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan tidak tergantung suku, ras, golongan, ajaran, bangsa maupun negaranya. Tapa mendhem juga berarti selalu mengubur semua amal kebaikannya dari ingatannya sendiri. Dengan demikian seseorang tidak suka membangkit-bangkit jasa baiknya. Kalimat pepatah Jawa sbb: tulislah kebaikan orang lain kepada Anda di atas batu, dan tulislah kebaikan Anda pada orang lain di atas tanah agar mudah terhapus dari ingatan.

Titik Lemah
Jangan lekas puas dulu bila merasa sudah sukses menjalankan tataran ini. Sebab pencapaian tataran kedua ini semakin banyak ranjau dan lobang kelemahan yang kapan saja siap memakan korban apabila kita lengah. Penekanan di sini adalah pentingnya sikap eling dan waspadha. Sebab kelemahan manusia adalah lengah, lalai, terlena, terbuai, merasa lekas puas diri. Tataran kedua ini melibatkan hati dalam melaksanakan segala kebaikan dalam perbuatan baik sehari-hari. Yakni hati harus tulus dan ikhlas. Namun..ketulusan dan keikhlasan ini seringkali masih menjadi jargon, karena mudah diucapkan oleh siapapun, sementara pelaksanaannya justru keteteran. Dalam falsafah hidup Kejawen, setiap saat orang harus selalu belajar ikhlas dan tulus setiap saat sepanjang usia. Belajar ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak pernah usai sepanjang masa. Karena keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam tiap-tiap kasus belum tentu berhasil sama kadarnya. Keikhlasan dipengaruhi oleh pihak yang terlibat, situasi dan kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi subyek mental kita saat itu.

TINGKAT 3 (Nung; sembah cipta)
Kesinungan ; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai tataran Kesinungan dialah yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan. Ini mensyaratkan amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan serta sinkronisasi lahir dan batin dalam mewujudkan segala niat baik menjadi tindakan konkrit. Yakni tindakan konkrit dalam segala hal yang baik misalnya membantu & menolong sesama. Syarat utamanya; harus dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam prinsip hidup, dan tanpa terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.

Pencapaian tataran ini sama halnya laku hakekat. Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar, tawakal, tulus, ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran), yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak setelah ajal. Pada tahap ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya dan mengenal lebih jauh sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami Tuhan tidak akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak munafik dan menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat menghormati keyakinan orang lain. Sikap ini tumbuh karena kesadaran spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersumber pada Yang Maha Tunggal, hakekatnya adalah sama. Cara atau jalan mana yang ditempuh adalah persoalan teknis. Banyaknya jalan atau cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan itu Mahaluas tiada batasnya. Ibarat sungai yang ada di dunia ini jumlahnya sangat banyak dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam, berkelok, pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni “samudra luas”.

NAH, orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di mana kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Kebaikan yg anda berikan, “buahnya” akan anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang anda terima belum tentu datang dari orang yang sama, malah biasanya dari pihak lainnya. Kebaikan yang anda peroleh itu merupakan “buah” dari “pohon kebaikan” yang pernah anda tanam sebelumnya. Selebihnya, kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti diri anda. Singkat kata, pencapaian Nung, ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam segala urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai orang lain. Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam terminologi Jawa inilah yang disebut sebagai “ngelmu beja”.

Untuk meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri secara benar. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang harus diketahui manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia cacad dan akan gagal mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ; retna, kalbu, jantung, budi, jinem, suksma, dan ketujuhnya yakni bumi rahmat.
1. Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana atau gedung mulia.
2. Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati.
3. Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.
4. Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.
5. Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.
6. Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur kepada Tuhan; sukma sejati.
7. Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.

Titik Lemah
Nung, setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual, maka sedikit saja godaan sudah dapat menggugurkan pencapaiannya. Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan seseorang ; maka semakin besar resiko tertiup angin dan jatuh. Seseorang yang merasa sudah PUAS dan BANGGA dengan pencapaian hakekat ini bersiko terlena. Lantas menganggap orang lain remeh dan rendah. Yang paling berbahaya adalah menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang tidak perlu lagi berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi.

Tingkat 4 (Nang; sembah rahsa)
Nang merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yang anda terima. Yakni kemenangan anda dari medan perang. Perang antara nafsu negatif dengan positif. Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci) mengalahkan NAR (api; ke-aku-an/”iblis”). Manusia NAR adalah seteru Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA; manusia NUR adalah memenuhi janji atas kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR memenuhi kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, sipat zat yg mengikuti sifat hakekat, menselaraskan gelombang batin manusia dengan gelombang energi Tuhan. Sifat zat (manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan) menjadi “loroning atunggil“. Yang menjadi jumbuh (campur tak bisa dipilah) antara kawula dengan Gusti. Inilah pertanda akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah dalam kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“. Bila Anda muslim, di situlah tatar makrifat dapat ditemukan.
Baca Selengkapnya...

________________________________________

PANDAWA LIMA

:________________________________________


 1. PRABU YUDHISTIRA
yudhistira
PRABU YUDHISTIRA menurut cerita pedalangan Jawa adalah raja jin negara Mertani, sebuah Kerajaan Siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan hutan belantara yang sangat angker. Prabu Yudhistira mempunyai dua saudara kandung masing-masing bernama ;Arya Danduwacana, yang menguasai kesatrian Jodipati dan Arya Dananjaya yang menguasai kesatrian Madukara. Prabu Yudhistira juga mempunyai dua saudara kembar lain ibu, yaitu ; Ditya Sapujagad bertempat tinggal di kesatrian Sawojajar, dan Ditya Sapulebu di kesatrian Baweratalun.Prabu Yudhistira menikah dengan Dewi Rahina, putri Prabu Kumbala, raja jin negara Madukara dengan permaisuri Dewi Sumirat. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putri bernama Dewi Ratri, yang kemudian menjadi istri Arjuna.Ketika hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa berkat daya kesaktian minyak Jayengkaton milik Arjuna pemberian Bagawan Wilwuk/Wilawuk, naga bersayap dari pertapaan Pringcendani. Prabu Yudhistira kemudian menyerahkan seluruh negara beserta istrinya kepada Puntadewa, sulung Pandawa, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti. Prabu Yudhistira kemudian menjelma atau menyatu dalam tubuh Puntadewa, hingga Puntadewa bergelar Prabu Yudhistira. Prabu Yudhistira darahnya berwarna putih melambangkan kesuciannya.
 2. BIMA atau WERKUDARA
b37_bima_indhu_solo1
Dikenal pula dengan nama; Balawa, Bratasena, Birawa, Dandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayusuta, Sena, atau Wijasena. Bima putra kedua Prabu Pandu, raja Negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Bima mempunyai dua orang saudara kandung bernama: Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu ; Nakula dan Sadewa. Bima memililki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Bima memiliki keistimewaan ahli bermain ganda dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki adalah ; Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol. Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain; Kampuh atau kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem. Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Bima mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu :
1. Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja,
2. Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca dan
3. Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena.
Akhir riwayat Bima diceritakan, mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuda.
3. ARJUNA
arjuna
Adalah putra Prabu Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita  putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura. Arjuna merupakan anak ke-tiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa. Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara.
Sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa. Arjuna seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi Pandita di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Arjuna dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Kaindran bergelar Prabu Karitin dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain ; Gendewa ( dari Bathara Indra ), Panah Ardadadali ( dari Bathara Kuwera ), Panah Cundamanik ( dari Bathara Narada ). Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain ; Keris Kiai Kalanadah, Panah Sangkali ( dari Resi Durna ), Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kiai Sarotama, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni ( diberikan pada Abimanyu ), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton ( pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani ) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama.  Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah :
  1. Dewi Sumbadra , berputra Raden Abimanyu.
  2. Dewi Larasati , berputra Raden Sumitra dan Bratalaras.
  3. Dewi Srikandi
  4. Dewi Ulupi/Palupi , berputra Bambang Irawan
  5. Dewi Jimambang , berputra Kumaladewa dan Kumalasakti
  6. Dewi Ratri , berputra Bambang Wijanarka
  7. Dewi Dresanala , berputra Raden Wisanggeni
  8. Dewi Wilutama , berputra Bambang Wilugangga
  9. Dewi Manuhara , berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati
10. Dewi Supraba , berputra Raden Prabakusuma
11. Dewi Antakawulan , berputra Bambang Antakadewa
12. Dewi Maeswara
13. Dewi Retno Kasimpar
14. Dewi Juwitaningrat , berputra Bambang Sumbada
15. Dewi Dyah Sarimaya.
Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu ; Kampuh/Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).
Arjuna juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain ; Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Bathara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danasmara ( perayu ulung ) dan Margana ( suka menolong ).
Arjuna memiliki sifat perwatakan ; Cerdik pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah.
Arjunaa memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bhatarayuda, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.
Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia muksa ( mati sempurna ) bersama ke-empat saudaranya yang lain. 
4. NAKULA
nakula
Nang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra ke-empat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Nakula lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa), Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna. Nakula adalah titisan Bathara Aswi, Dewa Tabib. Nakula mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Nakula juga mempunyai cupu berisi, “Banyu Panguripan atau Air kehidupan” (tirtamaya) pemberian Bhatara Indra. Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Nakula tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
1. Dewi Sayati putri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan
    memperoleh dua orang putra masing-masing bernama; Bambang
    Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
2. Dewi Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa
    yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita,
    Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala)
    dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung.
Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik. Setelah selesai perang Bharatyuda, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.
5. SADEWA atau Sahadewa
sadewa
Dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Tangsen (buah dari tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan dan dipakai untuk obat) adalah putra ke-lima atau bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama kakanya, Nakula. Sadewa juga mempunyai tiga orang saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura, bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna. Sadewa adalah titisan Bathara Aswin, Dewa Tabib. Sadewa sangat mahir dalam ilmu kasidan (Jawa)/seorang mistikus. Mahir menunggang kuda dan mahir menggunakan senjata panah dan lembing. Selain sangat sakti, Sadewa juga memiliki Aji Purnamajati pemberian Ditya Sapulebu, Senapati negara Mretani yang berkhasiat; dapat mengerti dan mengingat dengan jelas pada semua peristiwa. Sadewa mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Sadewa tinggal di kesatrian Bawenatalun/Bumiretawu, wilayah negara Amarta. Sadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati, adik Dewi Srengganawati (Isteri Nakula), putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala). Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Bambang Widapaksa/ Sidapaksa). Setelah selesai perang Bharatayuda, Sedewa menjadi patih negara Astina mendampingi Prabu Kalimataya/Prabu Yudhistrira. Akhir riwayatnya di ceritakan, Sahadewa mati moksa bersama ke empat saudaranya.
Baca Selengkapnya...

________________________________________

PAMORING KAWULA GUSTI

:________________________________________

PAMORING KAWULA GUSTI
MANUNGGALING KAWULA GUSTI

Para kadang kang kang anggilud pangelmon kawruh Jawi, supaya sakabehing reh kang digilud iku bisoa manjing dadi keyakinan kang lebune lumantar pikir pratitis, dadi ora banjur mung mbalilutan tanpa landesan pamgerten, sing wahanane andhakan sok banjur dadi kukuh amengkoki keyakinan sing tanpa katerangan kasunyatan.

Anandena pamarsudi / panggilude kudu sing kelawan genep, ora mung nyumurupi ngelmune wae, nanging uga ameruhana gegebengane kang sejati. Kudu bisa anyumurupi cangkok lan isine, wadah lan sing di wadahi, mula mengkono awit yen mung salah siji wae, dadine malah bakal kapitunan.

Upama mung nyumurupi teori iki samangso ngenani babagan kawikyan nanging ora ngidhepi marang prakteke, utawa kosok baline, weruh prakteke nanging ora weruh uger-uger teorine iku jejere banjur ora sampurna. Dadi tiwas bisa, nanging bisane mung separo, ora tatas, temah dadine malah ora putus.

Yen dijinggleng, gelaran pemut kaya kang wis di terangake ing duwur iki, salugune mung ya mampri amprih utamane lan sampurnane ngilud ngelmu iku.

Ana dene bakuning wos mungguhing pemud kasebut, gelarane mengkene :
a. Marsudia ngelmu amrih bisane weruh pamoring semu prasemon gaibing Widi, iki sing dadi sing dadi gegayuhan baku, ya pakeme giludan, yen ora bisa meruhi perkara kasebut, anggone mersudi ngelmu dadi tuwas tanpa tanja.
b. Murih bisa meruhi pamoring semu, prasemon gaib ing Widi iku mau saranane kudu jangkep meruhi cankok lan isine, salah siji ora kena ditinggal.
1. Cangkok – wadah – gelar kelahiran- laku.
2. Isi sing diwadahi – sing netepi gelar kelahiran – ngelmu.

Dadi amrih bisa nyandhak marang susurupan lan gegayuhan kang satune kudu jangkep anindakake ngelmu lan laku, jer ngelu kang ora dikanteni laku iki muspra, ora ana guna paedahe, karo-karone kudu ditindakake kanti bebarengan, ora kena cewet salah siji.

Anadene laku mungguhing pangelmon iku ona patang perkara, urut-urutane lan lekase ora kena ditinggalake salah siji yaiku :
1. Syariat
Tegese anindakake kelawan pakarti nyata miturut angger-angger pranatane pangelmon, endi sing kena lan endi sing ora kena dilakoni, endi sing wajib ditindakake lan endi sadengah kang bisa dileksananikanti mana suka (suah).
2. Tarekat
Tegese kawruh mungguhing angger-angger kasebut, dadi nindakake syariat kudu kanthi dilambari pangerten apa sebab lan guna paedahe dene sawiji-wiji iki wajib utawa ora kena ditinggalake.
3. Hakekat
Tegese nuju marang kasunyatan woh mungguhing pangiludan, yaiku sing kasebut laku sing wis nyandakmarang tataran kebatinan (luwih jero maneh).
4. Makrifat
Tegese nyumurupi kasunyatan wohing pangiludan.

Laku patang perkara kasebut kudu katindakake kabeh kanti urut miturut undha usuking tataran, yen ta nganti gotang salah suji, mesti ora biso tekan punjering gegayuhan, ateges wis marsudi kongsi ngenting, toging data malah ora idep apa-apa.

Ing sarehning dasare ngelmu ana ing kene ana gandheng gaibing Widhi, gelarane banjur sambung rapet karo prakara urip lan pauripan alandesan katerangan iku, tembung cangkok lan isine mau kajaba bisa kaumpama kanggo negesi blegering ngelmu lan laku uga bisa katujokake prasemon bleger kapribadenkang urip lan ngalami panguripan.

Kaplase banjur endi kang disemu mawas sesbutan cangkok lan endi sing disemu mawa tembung isi. Rehning urip ya bleger kapribaden iku mengku badan rong prakara, keplase tembung cangkok lan isi iku banjur nuju bebadan rong prakarakasebut, yaiku jiwa lan raga , sing jroning lagi urip iki pada manunggal dadi siji.

Kasunyatane jroning urip iku raga lan nyawa oa bisa pisah, raga kang minangka dadi wadahe, ya cangkoke, dene nyawa kang minangka sing diwadahi mbah lan musik. Sanajanta sakarone pada manunggal dadi siji lan dayane pada tarik tinarik sarta bawa mrabawani, jejere pada anduweni lungguh dewe-dewe kang mbaka siji kudu disumurupi kalawan taandes, kepriye lungguhe siraga, kepriye lungguhe si nyawa.

Raga kang asipat kasar iki bisane mobah lan mosik karana kadunungan nyawa kang asipat alus lan nyawa anggone bisa mobah mosike karana dumunung ing raga. Gamblange sing diuripi ora bakal klakon bisa urip samangsa ora didunungi dening sing nguripi ora bisa makarti gawe urip yen ora dumunung ana ing badan kang diuripi, dadi bebadan sakarone pada samad sinamadan lan daya-dinaya.

Ing sarehne raga orabisa urip yen ora di enggoni nyawa lan nyawa iku sawarna badan kang menehi urip, ing kene pilah-pilahing lungguh banjur dadi :
a. Siraga obah krembyah-krembyah mung karana manut sarehe si nyawa, jejere banjur dadi prabot pakarting nyawa, utawa bebadan kang dikuwasani, sing sateruse diarani KAWULA.
b. Si nyawa kang duwe daya anguripi lan mobah mosike manut sakrenahe, jejere banjur dadi bebadan kang nguwasani kahanan raga, sebutane banjur dadi kosok baline KAWULA YA GUSTI.

Manunggale sifat sakarone mau, manunggale siraga lan sinyawa. Manunggale KAWULA lan GUSTI iku minangka semu prasemon gaibing Widhi, dadi gaibing Widhi ya gaibing Pangeran iku disemu dining manunggale raga lan nyawa, disemu dening bleger urip sing awujud jejer kapribaden.

Sak mangkonoa nyumurupi gaibing KAWULA lan GUSTI, ya pada wae karo nyumurupi gaibing pangeran, ya nglereg marang nyumurupi pribadene dewe, ya weruh marang uripe kang sejati.

Ana dena jablase keterangan kasebut yaiku raga iku lungguhe banjur dadi kasunyatane nyawa, lire rehne raga iku bisa krembyah-krembyah obah lan makarti dadi cihna yen ing jrone terange ana nyawane lan nyawa iku kang minangka dadi kasunyatane urip, lire ana nyawa bisa ngobahake raga lsp, iku mujudage bukti yen nyawa iku nggerba urip lan urip iku asipatlanggeng, dumunung ana ing panguasaning pangeran kang asipat jumeneng klawan sarta ora owah gingsir lan dayane nglimputi saindenge jagad rat pramudinata, jagad geda lan jagad cilik.

Miturut larasan ing duwur terang banget yen blegger wujud kapribaden kang urip iki ya wujud manunggale KAWULA lan GUSTI, ya manunggale Manngsa lan Pangeran kang ing sarandene kalawan urut-urutan sarta tumata tanpa kuciwa kadayan dening panguasane.

Ing sarehne wis disumurupi, yen blegger kapribaden iku minangka prasemon gaibing Pangeran kang kagungan sipat-sipat pinesti, perlu uga disemurupi sipat-sipat Pangeran kang jangkep, yaiku kang diarani sipat 20. Dadi terange ing sarehne manungsa iku dadi prasemone dadi wewayangane pangeran kang kagungan sipat 20 iku mau, sing gelare kaya kasebut ing ngisor iki :

1. Wujud : Ana
2. Kidam : Disik ora ana kang disiki
3. Baka : Langgeng
4. Muhalawatil lil kawadisi : Beda karo kang anyar
5. Kiyamuhu binafsihi : Jumeneng kalawan piyambak
6. Wahdaniyat : Sawiji
7. Kodrat : Kuwasa
8. Iradat : Karsa
9. Ilmu : Kawruh
10. Hayat : Urip
11. Samak : Miyarsa
12. Basar : Wuninga
13. Kalam : Ngandika
14. Kadiran : Kang kuwasa
15. Muridan : Kang kagungan karsa
16. Aliman : Kang kagungan kawruh
17. Hayan : Kang kagungan gesang
18. Samian : Miyarsa
19. Basyiran : Nguningani
20. Mutakaliman : Ngandika

Kang supaya biso nyumurupi manunggale Kawula lan Gusti mau lekase kudu kalawan lumintu-mintu lan carane kudu ora kena gotang salah siji, lire anetepana syarat syariate panggiludan sing kanti jangkep, yaiku anenepana laku syariat, tarekat, hakekat lan makrifat, iki mau kabeh linakonan kanti ora kena diblenjani salah siji.

 

Pamoring Kawula Gusti iku pinda damer murub, mula bener yen gawe kekes lan wedi, karana kang nyumurupi rumangsa kasoran ing daya. Mula pamedare kudu sing kalawan pratitis, aja kongsi tumpangsuh.

Yen ditanding boboting ngelmu iku, nyatane pancen abot lan kenceng, naging ora kenceng kdidene kencenging, nanging ora kenceng iku mung sedyane. Kang murih enteng ing tembe burine. Samangsa di ecakake yen ana gawe parigawe, ora medosol nuwuhake reribet apa-apa.

Olahing rembug ing satibaotibane tansah titis lan kawetune ora wengku sajak arep ngejori, arang kading mung trima urun-urun, nanging malah dadi kaundakaning kawruh. Kang mengkono mau malah banjur bisa ditrisnani ing akeh.

Luwih-luwihyen bisa nambahi jembaring ngelmu, iku yekti sing dadi sisipane wong linuwih. Sakehing tindake ora sinamudana mung kanggo ngumpak (nglembana)ing liyan lan ora mamprih pangalembana dewe, awit jejere wis waskita dadi pandita kang kinacek.

Kaceke adoh banget mungguh ing kapiterane ulah lan tanduk, duduga lan prayoga tansah dienggoni, wanine kadidene jajaka, nanging wani sing ora ateges maoni ngelmu kang wis mapan.

Ngenggoni tapa-brata kang pitung prakara :
* Kapisan, tapane jasmani oja sok darbe rasa serik, kudu narima ing lair trus ing batin.
Tapane badan wadag utawa tapene kalairan, yaiku sing ingaran Sarenggat (ngenggoni angger-angger ing pranatan mungguhing panggiludan) tinemune ditemeni kalawan tulus mulusing sedya lair batin.
1. Ngendaleni sarta meper lakune hawa napsu kang patang prakara, sing kabeh mau asal pinangkane saka jasad kadagingan.
2. Asih marang sapade tumitah, sing ateges sugih ing pangapura marang kaluputaning liyan.
3. Sing bisa ngayomi sasamaning ngaurip dedasar kawicaksanan.

* Kapindo, mono satuhuning tapa.
Yaiku tappane budi, lekase mung supaya bisa mbirat sakehing budi nista lan remeh sarta ngilangana watak demen goroh.

* Kaping telu, tapane hawa napsu
Kudu nglakoni sabar lan alim sarta sugih pangakema marang sapa wae, sajan marang wong sing wis milara awake, percayaan marang Pangeran.

* Kaping papat, tapane sang rasa sejati.
Pikir utawa ati kudu kagawe supaya meneng lan wening, ngudiya mamrih bisa tansah muja lan semedi yen kabeh wis meneng lan wening, gegayuhane mesti bakal kacekel.
* Kaping lima, tapane sukma.
Gelara sarana lembah manah lan grapyak semanak, atine kudu lega rila sarta ora kena muna-sika ing sesamane urip. Kudu bisa ngemong atine wong.

* Kaping nem, tapane cahya kang manter.
Ora samar ing sakabehing kahanan lan tansah eling damang marang pilahing kapalson lan kasunyatan, eling marang sakehing pambudi mamrih wilujenge bisa antuk ati kang padang lan resik, tataran MAKRIFAT, tataran jumeneng kapribaden.

* Kaping pitu, tapane urip.
Kudu santosa budine lan ati-ati, tumindake uga kudu disaranani kateguhaning iman lan timbuling kekarepan kang lumintu, ora kena uwas sumelang ing ati sarta kudu kumandel-kandel marang panguwasane Hyang Widi.

Wigantining wus tumrap sakabehing laku iku mau tinemu ana ing bongkot lan pucuk, iku wae wis cukup dadi ora mindo gaweni / mindo laku. Eohing laku mau bisa murakapi marang patine yaiku oncading sukma saka alam jasmani, ngacik ngambah ing alam gaib.

Manjing suruping pati iku kalakone mung sakedeping netra, anggone ngukut jagade nyata patitis, kabeh dikut digolongake marang tekat sawiji, digemblekake mamrih mlebu ing kraton.

Kayu lan watu pada dianggep lan digawe swarga kang mulya ake, kang nyukupi ing sakabehe sarwa endah banget, yen manggon ing kono jenak awor brekasakan lan jrangkong.

Pati kang kaya mangkono iku satemene mindo gaweni, nanging sing kaya mangkono mau ora dimangi. Ngertine samangsa kahanan wis kuwalik karana kurang bisa mbedakake lan karana salah tanpa, mula dadine banjur kasasar.

Mula sing teguh ing iman sarta eling lan was pada, aja kleru ing pamawas. Kraton sing sejati iku satemene ora kraton.

Gegebengan mau katampa kanggo gagaran ngukut jiwa raga, kang asipat setroli, padange kaliwat-liwat lan sipate langgeng ora owah gingsir. Ya iku sing dadi margane mulih ngumpul Dzating Pangeran.

Ana dene wahanan-wahanan kang dialami ing jrone ngadepi bakal kukuting jiwa raga iku, kajaba sudane kabeh kekuataning angga lan panca driya (pangrasa, pangganda, pandulu, pangrungu lan panggrayang), uga bakal manoni molah-malihinh cahya, sing kabeh mau asale saka pakartining napsu, napsu sing wis arep kukut. Ana dene cahya mau molah-malih gilir gumanti urut-miturt dodok selehing napsu, sing terange kaya ing ngisor iki :
a. Abang mrakata : banjur suda-suda lan manjing dadi.
b. Kuning amita : saya suwe saya suda temah sirna lan kagilir dening cahya.
c. Ireng tunteng : peteng dedet lilimengan nanging wekasane banjur ganti dadi cahya.
d. Putih memplak :

Cahya 4 prakara kasebut, iku cahyane napsu 4 prakara, yaiku amarah, luamah, supiyah lan mutmainah, sing kabeh pada tinemu lan lenggah ana sarira pribadi. Kasunyating kabeh mau mung minangkadadi sasmita, yen pakartining napsu 4 prakara kasebut wis arep sigeg.

Ing sawise iku banjur tinemu ana cahya mencorong padang ambleringi kang sipate ora owah gingsir lire ora bakal gumilir ing cahya liyane. Yen wis tekan cahya sing kaya mengkona kahanane iki, nyata wis tekan titi mangsanw nyawa oncad ninggalake kurungane, mulih marang asal muasale sakawit.

Meneng, anteng, langgeng ora obah ora ngucap ora dulu kaendahaning swarga, ora rumangsa dumunung ana ing pangauban, aing ana mung trawanging ati, meleng dadi manunggale nabi-wali.

Katrangane :
Samangsa wis manoni cahya kang kukuwung putih mencorong kayo kang kaceta ing duwur yaiku cahya kang asipat langgeng ora owah gingsir wis ateges bisa jumeneng pribadine, wis manunggal karo Dzating Pangeran (wis jejer manunggal Kawula Gusti).

Yen wis kaya mengkono, kalangengan iku mau mahanani kahanan ora bisa sumurup kaendahan apa-apa, apa dene kaendahaning swarga, ora rumangsa ngayom marang apa wae, lire ora mangeran marang saliyane Pangeran Kang Maha Luhur, nanging jejere ngalela pribadine ana ing alam sonya-ruri. Yen wis kaya mengkono kahanane wis ara ana sipat-sipat kang beda ing antarane pribadi lan Pangeran, Kawula lan Gusti wis manunggal, pada wae karo wis bisa napaki lekasing para nabi lan para wali sing wis pada jejer dadi makrifat. Kasare pribadine wis prasasat nabi utawa wali, karana wis bisa nggayuh tataran sing wis kagayuh dening para nabi lan wali duking nguni, yaiku asarira – Batara.

Baca Selengkapnya...

________________________________________

Web-Stat : 1,063 visitors today, 24 online

:________________________________________

Web-Stat : 1,063 visitors today, 24 online Baca Selengkapnya...

________________________________________

Jumat, 25 Maret 2011

( 2 ) ORA KEPENAKING LUPUT UTAWA SIKSANING DOSA

:________________________________________

Ngrumangsani luput utawa reged iku lerege marang paniti priksa adiling kodrat.

Paniti priksa marang adiling kodrat iku lerege marang paniti priksa ing lupute dhewe, kang aran ngrumansani.

Yen nemoni apa-apa kang ora ngepenakake ati, elinga bae yen iku : jaban, ora dadi barang bareng tumrap : jeron. Munggguh bab lase : sanajan gunungan njeblug lan perenga bratayuda pisan, iya njaban.

Anane ora kepenak marga luput, lupute : marga lali ing dhuwur iku.

Yen nemoni apa-apa kang ora ngepenakake ati, elinga yeng kang ora ngepenakake iku satemene iya PANGGAWENING ATINE DHEWE, dudu : SING ANA SAJABANING ATI. Yen dhasar batine bener lan resik temenan, mokal ora kepenak. Mungguh resik mau ana resik tumrap : Jaban, ana resik tumrap : Jeron.

Yen nemoni apa-apa kang ora ngepenakake ati, elinga yen anane

siksa saka dosa. Lire : anane ora kepenak saka luput. Mokal menawa ora marga dosa, utawa : mokal ana ora kepenak, merga bener lan resik. Ora susah adoh-adoh nglulur dosa kang wis klakon. Dosa saiki bae kang wus karuhan (nalika lagi ora kepenak bae). Dosane yaiku : dene dadak ngrasakakesing gawe ora kepenak, wong genah ngambah sing ora kepenak, kok ora nyimpang. Apa iku dudu luput. Rehne luput, apa ora tampa pasiksane. Sapata : sing prentah nglakoni gawe ora kepenak marang ati mau.

Yen nemoni apa-apa kang ora ngepenakake ati, wis ora susah takon maneh : mesthi saka lakuning atine dhewe sing susah, (salah pakarti), nyimpang saka : benering bener, yaiku bener jeron, dudu : bener jaban. Tandhaning  salah : kabukten enggone mujudake ora kepenak iku.

Yen nemoni apa-apa kang ora ngepenakake ati, mangka ora bisa mupus kaya ing dhuwur mau rehne angel, elinga : apa ORA BISA iku dudu kaluputan. Apa si ORA BISA utawa SI-ANGEL, arep dianggo gagaran anyelaki lupute. Ora weruh yen ORA BISA lan ANGEL iku wis kalebu marang luput, tegese : Iku wewengkoning luput, utawa anak putuning luput, dadi kalingane : mung saka DURUNG WERUH bae marang lupute. Dene ora weruh iku iya anak putuning luput maneh.

Yen nemoni apa-apa maneh kang ora ngepenaki ati, aja mung meruhi : sing ana sajabaning ati. Meruhana : sing ana sajroning ati atine dhewe. (Aja ngeling-eling SING DIRASAK-RASAKAKE ngelingana : SING DIANGGO ngrasak-ngrasakake).

Yen nemoni apa-apa kang ora ngepenakake ati, takona marang pikire dhewe : apa ORA KEPENAK iku maedahi. Yen maedahi, karuwane oleh sengkut nandangi. Dene yen wis dhenger : ora maedahi, mangka teka ditrajang, iku salahe sapa. Cara jabane bae wis takon mangkene : sing maedahi IHTIYARE apa GELANE.

Yen nemoni apa-apa kang ora ora ngepenaki ati, yen durung ketemu lupute, ya isih luput enggone nggoleki. Tandhaning lupute : durung bisa nemokake iku.

Yen nemoni apa-apa kang ora ngepenaki ati, mangka tetela saka luputing liyan sajabaning ati lan wis mupakat wong akeh yen mesthine utawa benere ora kepenak (marga wis lumrah) elinga bae yen iku lagi aran bener, durung : bebering bener.

Kang tinuju ing layang iki : BENERING BENER, ora mung BENER bae. Bener iku mung tumrap jaban. Benering bener tumrap jeron. Yen mung trima lumrah bae, ora susah mbicara jeron, awit mundhak dipurih kang nggayuh : benering bener, kang angeling-angel gayuh-gayuhane.

Yen nemoni apa-apa kang ora ngepenakake ati, nyobaa takon marang budine dhewe APA YA RASA JATI MELU ORA KEPENAK, REHNE WIS BENER, LUMRAH LAN MUPAKAT WONG SAJAGAD. Mesthi ora, awit rasa jati ora mesthi nganggep becik marang kang wis dianggep becik dening rahsa.

Yen nemoni apa-apa kang ora ngepenakake ati, elinga paribasan Walanda : “De liefde is blind”, tegese : katresnan iku bisa micakake. Ora kepenak iku asal saka KABOTAN TRESNA marang dhirine. Iku kang micakake ati. Picaking ati : lali yen dhirine iku dudu bener-benering kahanan kang tumuju ing sih katresnane kang ngebeki jagad.

Yen nemoni apa-apa kang ora ngepenakake ati, AWAKMU TAKONANA DHEWE : he…….., pangudi, ketokna gawemu, sabab saiki aku lagi nemoni kang ora kepenak. Apa gunane aku ngudi kawruh batin, yen senengku mung yen : oleh kang lumrahe nyenengake, utawa : susah yen nemoni kang nusahake. Yen mung lumrah mangkono bae, ora leh dene ngudi kawruh kabatinan.

…@@@…

Sumber : Buku Serat Wewadining Rasa, Cap-capan I Tahun 1985.
Penerbit : Yayasan Djojo Bojo SURABAYA
Baca Selengkapnya...

________________________________________

WEDHARING SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT

:________________________________________

Ingkang dipun wastani kawruh Sastra Jendra anênggih punika pituduh ingkang sanyata, anggêlarakên dununging kawruh kasampurnan, winiwih saking pamêjangipun para wicaksana ing Nungsa Jawi, karsa ambuka pitêdah kasajatining kawruh kasampurnan. Kawruh Sastrar Jendra Hayuningrat pangruwat barang sakalir, kapungkur sagung rarasan ing kawruh tan wonten malih, wus kawengku sastra-di, pungkas-pungkasaning kawruh, ditya diyu raksasa  myang sato isining wanadri, lamun weruh surasane kang Sastra Jendra saged rinuwat dening bathara, sampurna patinireki, atmane awor lan manungsa, manungsa kang wus linuwih yen manungsa udani awor lan dewa patinipun, jawata kang minulya mangkana  duk miyarsa tyasira andhandhang sastra. Ingandhap punika wedharing kang Sastra Jendra Hayuningrat saking Serat Lokapala.

Pupuh 177
Dhandhanggula

1.      Mas Cebolang kalawan Nurwitri rêsêping tyas de binojokrama tan mantra-mantra yrn nêbe, supêkêt imbal wuwus, dyan tumênggung maringkên aglis, srat Lokapala kawya, dumuginya kondur, risang Rama mring  Ngayodya, lah anakmas kinarya sasamben linggih, jujugên kaca sangga.

2.      Caritane sang Prabu Sumali, ing Ngalengka kala puruita, mring Bagawan Wisrawa-ne, sêrat tinampan sampun, wus binuka turira aris, nuhun kauningana, estu jugul punggung, têmbung tuwin sêkarira , sajêg ulun  sawêg sapisan puniki, sumêrêp sêrat kawya.

3.      Sagêd maos nanging dlêmik-dlêmik, dyang tumênggung alon angandika, lah rêka wacanên wae, ywa nganggo têmbang lagu, wus winaca kalankung rindhik, angel kêdaling lesan, dyang tumênggung nuntun, miwah anjarwani pisan, ragi lanyah nggigit suraosing tulis, têmah kataman rimang.

4.      Wêdharing kang Sastra Harjendra di, wus tinangkêp sêrat kang winaca, makidhupuh trapsilane, ing nayana mawêlu, dyan tumênggung mesêm ing galih, ing tyas tan kasamaran, kalejêming sêmu, minawas wawas jroning tyas, anaratas pantês lamun dentêtêsi, luwês lon angandika.

5.      Babo jêbeng ngagêsang puniki, mrih waspada pandoming kadadyan, kang pasthi ring pangesthine, panjutaning tyas tuhu, tarlen kawruh jiwa sajati, mangsa suryaning alam, wikan kang manglimput, myang pandak panduking driya, kasantaning udaya kang anartani, ing surasa kêrtarta.

6.      Kang kapusthi pangesthining kapti, tan lyan mamang katamaning tingkah, ing tumitah mammrih lanteh, tinêtah siang dalu, tinalisik osiking ati, tiniti mrih tetika, kasidaning dunung, dumunung reh sangkan-paran, aywa samar pamoring kawula Gusti, mangkana duk miyarsa.

7.      Mas Cêbolang matur mangênjali, dhuh pukulun sêmbahan kawula, mugi mêlasa ta mangke, maring pun mudha punggung, kang tuhu tan satmateng gati, ring silastutining tyas, trapsilaning tuwuh, tumuwuh tanpa pituwas, têmah tiwas ing pangesthi tanpa dadi, saking kirang wêjangan.

8.      Ingkang wijang jerenganereki, pakartine ing reh jagad raya, tan mantra uning jatine, marmantakêdah matur, minta tanya kawruh kang jati, jatine kang winastan, kawruh kang linuhung, Sastra Jendra Hayuning-rat, ing nguni kang piningit Jawata luwih, myang kang ran Sastra Cetha.

9.      Mênggah têgêsipun kadospundi, miwah dununging pikajêngira, kang wijang wiji-wijine, dyang mênggung maluya rum, dhuh anakmas kalangkung rungsit, mungguhing patanyanta, Sastra Jendra iku liring sifat kayuwanan, -nira Sang Hyang Endra kang mêngku ling-aling, badaling Hyang Wisesa.

10.  Yen wus wikan ing kajateneki, sayêkti yen têtêp hayuningrat, lire raharjeng jagade, dene ta inggahipung, Sastra Cêtha dipun wastani, liring kang Sastra Cêtha, kalêpasanipun kawaskithaning panunggal, nora samar sangkan paraning dumadi, dumadya mardikeng-rat.

11.  Lire pamijining jagad yêkti, marma tan kenging kengis ing kathah, sinêngkêr ing Batara-ne, kajaba para Dewa ku, kang linilan ing Jawata di, Sang Hyang Sukma Kawêkas, myang jalma linuhung, kang katimeng pamêsunya, puja brata sinung wahyu dyatmikani, nanging mawa prabawa.

12.  Guntur wisesa myang guntur agni, guntur bumi miwah guntur braja, guntur ranu myang gunture, awang-awang punika lamun datan tumama yêkti, pratandha katrima, dene cihnanipun, ingkang datan katrima, yêkti sirna tanpa sesa ing dumadi, marma ta wis kaduga.

13.  Mêdhar ngilmi gaibing Hyang Widdhi, saking makatên ing purwanira, jrih sikuning Hyang Murbeng reh, nanging ta puntonipun, reh ta sami ngudi wawadi, mrih sidhine kasidan, titising pangawruh, kasampurnaning ngagêsang, kadipundi mungkêring reh tekat yêkti, mrih babaring kamulyan.

14.  Yêkti wontên upamane anti, ing pangrêman sarta kang tan lana, kumalêkêrên dadine, tan nêtês dadinipun, tanpa kardi dennya dumadi, tiwas tanpa pituwas, kangelan saumur, luhung aywa dumadia, manungsa yen tan sampurna gêsangneki, lir sato tanpa tekad.

15.  Babukaning carita ing nguni, karsaning Sang Hyang Girinata, angumpulakên ing kawruhe, wit saking mêntas kawus, kawruh jati kalindhih dening, Rêsi Kanekaputra, mila tinartamtu, ngumpulkên para kadang Dewa, Rêsi Nrada kalih Bathara Basuki, tiga Sang Hyang Sriyana.

16.  Iya iku kang sinêbut nami, Sang Hyang Panyarikan paparabnya, kalawan putra kaliye, Bathara Endra dwi Wisnu, samya têdhak pucuking wukir, ing ardi Jamusdipa, dennya mêdhar kawruh, sawusing pêpak sadaya, Sang Hyang Guru ambukani kawruh jati, ing ngarêp wus binabar.

17.  Purwaningkang dumadi rumiyin, ingkang wrêda pribadi pan cahya aulya dahana rumiyin, ingkang wrêda pribadi panca jaladri, puniku pinabênan, ing Kanekasunu, ing pangancas taksih lêpat, de mangeran marang kahananireki, sisip-têmbire* (sisip-sêmbire) dadya.

18.  Sumurupe têteja sayêkti, sarta maring kêkuwung maring wangkawa, amarga ing sadurunge, isining rat kadulu, maksih awang-uwung awingit, wus ana swara kadya, gêntha keleng ngungkung, iku Sang Hyang Girinata, sru anggilut jablasing surasaneki, Bathara Nrada sigra.

19.  Mêjangakên ing atur dumêling, manis tutuk tatasing kang sabda, Hong Hyang Hyang ulun yêktine, mênggah ta sagungipun, kawontênankesthi kajatin, kajatosan punika, wonten kahaneku, saksine wontên wonten manungsa, jagad ingkang manungsa estu tan pangling, lawan jagading donya.

20.  Mila binasakkên saderenging, wontên cahya wus ana swara, apindha gêntha kakêleng, pinika wardinipun, liring swara ingkang kapyarsi, yeku bawa jatinya, gêntha jatinipun, kantha-kanthining kang warna, kêkêleng pan dudunungan jatineki, anjinging kang bicara.

21.  Dununging bawa neng kantha singgih, kantha punika sayêkti samar, samar elek satuhune, elok gaib liripun, dene gaib punika mawi, sasandha kadadosan, babasaning catur, nora warna datan rupa, amimbuhi sipat wawarnen sakalir, tan ênggon ora arah.

22.  Nanging tansah dennira nglimputi, sagung ingkang gumêlar neng donya, ngandika tanpa lesane, muhung nyawa puniku, ngganda tanpa garananeki, muhung purba kewala, myat tanpa netraku, muhung saking ing waskitha, amiyarsa tanpa karnanira kalih, muhung saking wisesa.

23.  Myang angraos tanpa raos nênggih, muhung pangraos sajatinira, dene ta kosok wangsule, purwaning ana estu, saking ora witipun lair, saking ing kabatosan, witing rame estu, saking ing ênêng sanyata, wit gumêlar saking ing sonya sayêkti, nanging aywa kadriya.

24.  Tawang-tuwang tanpa wasananing, bêbasane mangeran kumandhang, wusing atur ulun mangke, sirik saestunipun, anênampik tanapi milih, kalamun anampika, ing sadayanipun, kang gumêlar ngalam-donya, punapinggih tan ginulung malih, kalamun amiliha.

25.  Punapa tan uninga manawi, sakehing kang kawontênan apan, saking gaib sejatine, babo ywa nganti kerut, utamine mandar ngurubi, myang sampun kawimbuhan, malah asung wimbuh, punika kewala cêkap, dhumatêng ing dunungnya pangsethi jati, jatining kauwusan.

26.  Sigêg ture Sang Kanekasiwi, Sang Hyang Guru sawusing miyarsa, saklangkung lêga ing tyase, rumaos yen panuju, dennya darbe pangesthi bangkit, kadya Sang Hyang Athama, ngratoni sawêgung, de kang nama Hyang Athama, ing srat Jitabsara panjênêngan Nabi, ya Adam Abul Awan.

27.  Sang Hyang Guru nulya dhawuh maring, para kadang Dewa miwah putra, bisa-a ngudhuni* (ngudhoni/nguruni) ing reh, ambawa-rasa iku, Hyang Basuki wacana aris, mênggah atur punika, wus lêrês sadarum, namung ing pamanggihingwang, sawêg têlêng dununging pangesthi jati, mring Kang Murbeng Gaiba.

28.  Analisir pantoging kang gaib, namung dunungipun kang pinurwa, ing suraos wau dereng, Hyang Guru ngndika rum, palibaya pantareng mami, mara katêrangêna, babar-pisanipun, sabda dadining kasidan, Hyang Basuki mangênjali turira ris, mêdhar wangsit angandhar.

29.  Dhuh pukulun saking wasitaning, guru-ulun Pêksi Rukmawatya, wukir Mahendra dhepoke, Hyang Kang Murbeng Gaibul, lajêng murweng anasir rannya, gêni bumi angin we punika dadi, kaananing manungsa.

30.  Latu dadya napsune kang jalmi, martandhani cahya catur warna, abrit cêmêng jêne putih, bumi badan jasmanu, martandhni sakawan warni, kulit daging myang tosan, sungsum jangkêpipun, angin kaananing napas, pan ing lesan ing grana ing netra kalih, myang pamyarsaning karna.

31.  Dene toyo dados kaananing, êroh catur isining wiryawan, ing Jitabsara têmbunge, inggih asrar puniku, roh jasmani êroh kewani, êroh nabati lawan, roh nurani catur, punika bilih kawula, sigêg ture Bathara Basuki sukci, mangkya Sang Hyang Sriyana.

32.  Matur alon ring Hyang Odipati, dhuh pukulun sang Padawinênang, manawi ing wasitane, ing gurunadi-ulun, parab Rêsi Pramana tunggil, saking pangraos-amba, langkung tlêsihipun, ingkang wus kasêbut ngarsa, pasêmone Sang Hyang kang Amurbeng gaib, mênggah pralambangira.

33.  Catur sastra-suwara winarni  A, I, O Rê*) myang antanwyanjana* (urut-urutaning aksara Jawi), sastra tridasa saptane, makatên wijangipun, aksara A () mila puniki, angka sakawan () lawan, aksara SA () wau, mênggah ing pikajêngira, pan wijining panunggal kawan prakawis, Bahni bantala bajra.

34.  Myang baruna wijangipun nênggih, agni bumi angin miwah toya, dene aksara BA () sinung, cêrêg ngandhap () pikajêngneki, bayi dene tan sondha, dados wujudipun, manungsa ingkang sampurna, sarwa sangkêp tan wontên kang kirang luwih, aksara O () wijangnya.

35.  Mila aksara WA () denpasangi, aksara DA () mênggah pikajêngnya, mungêl wêdal ing têgêse, pan katingal puniku, aksara () wijangireki, mila PA cêrêg ngandhap, padha kanjêngipun, antara ing têgêsira, sampun jangkêp catur swara têgêsneki, gantya wijiling dênta.

Pupuh 178
M i j i l

1.      Myang wyanjana ing jarwanireki, pêpêking ponang wong, nanging dereng mawa repa lire, mabusana jangkêping pakarti, lir jabang duk lair, sing garbaning biyung.

2.      Muhung Swara pracihnaning urip, de wujuding karo, sastra dwidasa lan pasangane, yeka kang ran  dênta-wyanjaneki, ha na ca ra ka- ki *) (); sapiturutipun.

3.      Ha na ca ra ka têgêsneki, won duta kinaot **) (wonten duta kinaot), dunungipun winangsul swarane, ka ra ca na ha lire puniki, lesan ngucap ing da ta sa wa le-ku *) ().

4.      Têgêse Dat kacihna swareki, dununging suraos, wangsul swara la wa sa ta da-ne, nggih punika pratandha salami, pa dha ja ya nya-ki, () lire sami unggul.

5.      Pan punika pancadriya yêkti, dununging suraos, wangsul swara nya ya ja dha pa-ne, lirnya tan pêgat pangidhêpneki, ma ga ba tha nga-ki (), nênggih têgêsipun.

6.      Babatangan sarira puniki, wit dadosing kawroh, dunungipun winangsul swarane, nga tha ba ga ma têgêsireki, ngentha satataning, ngantareng Hyang Agung.

7.      Sajatine wontên manungseki, srêngkaraning raos, liring srêngkara abên-manise, rasa-rumangsa saliring osik, kawula lan Gusti, pamor ing sawujud.

8.      Dene pasangan pêcahireki, ricikan rajah wong, munggeng angga makatên wijange, ha () lidhah mila dipuntêgêsi, ngetokkên sakapti, awit lidhah wau.

9.      Anut pakening karsa sayêkti, clupakan netra ro, pasangan na () mila ing têgêse, katêrangan wit luwakan aksi, pan karya wênganing, Hyang Pramana tuhu.

10.  Pasangan ca () tangan têgêsneki, kancuhaning batos, awit tangan dados kancuhane, osiking tyas nartani pakarti, ra () manik winardi, sosotya punika.

11.  Wit têrsandhanira wontên manik, rahsa saraseng don, kang manrangi ing lair batine, ka () cangklakan pundhak denwêrdeni, kukuh dene kardi, pikuwating bau.

12.  Pasangan da () kalamênjing warni, apanjang kinaot, wit manjangkên ing jangga wujude, pasangan ta () cangklakaning sikil, winastan cacêthik, prênah têgêsipun.

13.  Dene dadya lantaran yêkti, kuwatin ngalunggoh, anartani tata-trapsilane, pan minangka lambaraning takrim, antuk suku kalih, dadya ugêripun.

14.  Pasangan sa () jaja antaraning, têgêsipun golong, dene dadya kanthi sayêkti, awit jaja dununging piranti, pirantining urip, parabot kang parlu.

15.  Pasangan wa () bau ingkang kering, tinêgêsan karo. Dene dadya kanthi sayêktine, bau kanan lalawananeki, jangkêping pakarti, bau ro puniku.

16.  Pasangan la () gêgêr kanan kering, têrusan njaba jro, dene nêrusi jaja ngajênge, pasangan pa () lambe ngandhap nênggih, mila dentêgêsi, patitis puniku.

17.  Dene bangkit mijilkên yêkti, pangucap cumêplos, tan kaleru tampining osike, pasangan dh () nnggih dentêgêsi, dadalan sêjati, wit dhadha puniku.

18.  Dados margi pratandhaning uirp, kakêtêg ing jêro, mangka paliwaraning Atmane, pasangan ja () sandhing thêthêngiling, jaja dentêgêsi, patitis puniku.

19.  Dene dados pangajênging ciri, ayu kajêngipun peranging kono, aksara *) (wujuding aksara tuwin pasanganipun sami) ya () babau kanane, tinêgêsan cuthat wit nampeni, karêntêging ati, tumindak sakayun.

20.  Pasangan nya () luwakaning ngaksi, kang kering kinaot, mila tinêgêsan mulung lire, dene bangkit amêngani kapti, sasmitaning liring, ngênani panuju.

21.  Pasangan ma () janggut dentêgêsi, bundêran wang karo, aksara ga *) (wujuding asksa sami kalaiyan pasanganipun) () jangga wingking lire, agêng dene panggenaning nginggil, sanginggil angkeki, kêrêtang pok gulu.

22.  Pasangan ba () pasu wujudneki têgêsira karo, lire kêmbar nrambahi mukane, pasangan tha () wujuding thi-athi, tinêgêsan nênggih, tulising mukeku.

23.  De mimbuhi asrining suwarni, antareng karno ro, pasangan nga () nênggih bolongane, ing grana mila dentêgêsi, pangingsêp wit saking, panggandasmareku.

Pupuh 179
Asmaradana

1.      De cêcêg () grana lirneki, sami lawan aksara nga, wulu () sirah ing têgêse, pêpêt () têgêse mbun-êmbunan, layar () lirira jaja, sami lawan ra punika, dene cakra () têgêsira.

2.      Midêr lawan amêngkoni, yeku dhadha têgêsira, ingaran sawarga lire, pangiraning tyas punika, kawêngku jroning dhadha, marma pasangan dha jumbuh. Pikajênge lawan cakra.

3.      Taling () têgêsira kuping, tarung () thêthêngêling karna, ingaranan srêngkara, abên-manis têgêsipun, marma ingaran mangkana.

4.      Krana dadi lantaraning, pacampuring rahsa mulya, dene wa () gêmbung têgêse, pan punika bau kiwa, pengkal () pan bau kanan, wignyan () cangkêm têgêsipun, ing dununging pamicara.

5.      Winastan wisarja nênggih, lire bêcik klawan ala, saking tutuk ing margane, rinan malih awiyarja, luwih bêcik têgêsnya, saknya malih têgêsipun, nut sapakon têgêsira.

6.      Pakoning manah sayêkti, mulya sae nulya ala, tutuk darma mêdharake, pangkon () pandhaku lirira, ingaranan pêjahan, sing aksara kang pinangku, sayêkti wujud manungsa.

7.      De cahya kawan prakara, cêmêng abrit jêne pêthak, nênggih ing panjing surupe, cahya cêmêng anjingira, sumurup cahya rêta, rêta manjing surupipun, nênggih maring cahya jênar.

8.      Jênar manjing surupneki, maring cahya ingkang pêthak, cahya pêthak ing surupe, maring cahya mancawarna, cahya kang mancawarna, mring cahya mancorong iku, nênggih panjing-surupira.

9.      Cahya kang mancorong manjing, mring cahya mancur surupnya, cahya umancur surupe, mring cahya wêning punika, cahya wêning surupnya, mring cahya gumilang iku, cahya gumilang surupnya.

10.  Marang cahya ingkang gaib, têgêse gaib pan samar, kendêl Sriyana ature, Hyang Guru kelangkung suka, karênan ing wardaya, dene ta punika kawruh, kapralambang saking sastra.

11.  Sang Hyang Sriyana sinung sih, pinaraban Panyarikan, jawata jumurung kabeh, mangayubagya ing karsa, sigêg Sriyana turnya, tandya Sang Endra sumambung, matur sarwi ngaraspada.

12.  Saking raosipun maksih, kadho-kadho ing pangancas, nênggih dhatêng ing kajaten, awit maksihkaroneyan, bokbilih tidha-tidha, pamanthênging tyas kalentu, korup dhatêng panguripan.

13.  Manawi pamanthêng kami, namung riningkês kewala, dhatêng ênêng lan êninge, dene dadose dumadya, rupa warna busana, pangracutipun pan namung, rasa ambu warna rupa.

14.  Mênggahing pangancas-kami, saestu datan nalimpang, muhung mring nukat gaibe, pukulun pangraos amba, wus tan ana tisna-a, nêtês naratas wus putus, wasana ulun sumangga.

15.  Sigêg Sang Hyang Endrapati, dennya medhar pangawikan, mangkya Hyang Wisnu ature, nuwun mênggah aturira, risang Hyang Panyarikan, kawruh kapralambang dhaup, lawan sastra samoanya.

16.  Ingkang punika mêwahi, têranging kang sasêrêpan, mênggah saking wasitane, Sang Ngusmanajid gurwamba, kaananing manungsa, punika anunggil dhapur, lan kang nglimputi sarira.

17.  Purwanya namung satunggil, kadamêl kalih ilapat, dene ta binasakake, kakalih ingkang ilapat, langkung kang amicara, winastan kalih saestu, winastanana satunggal.

18.  Sayêktosipun satunggil, mênggah sastra tanah Ajam, kang tumrap angga kathahe, jangkêp tigangdasa sastra, saking enget kuwula, Hyang Pramesthi ngandika rum, mara kulup wêdharêna.

19.  Sang Hyang Wisnu mangênjali, sareh wêdaling wacana, alip (…ﺍ…) maripat kalihe be (…ﺏ…) bolongane kang grana, te (…ﺕ…) ing utêng dunungnya, se (…ﺙ…) daging jim (…ﺝ…) sirah lungguh, ke alit (…ﺡ…) karna kang kanan.

20.  Ke ageng (…ﺥ…) karna kang kering, dal alit (…ﺩ…) bau kang kanan, dal agêng (…ﺫ…) bau keringe, ra (…ﺭ…) iga têngên kiwa, je (…ﺯ…) iga ingkang kiwa, sin alit (..ﺱ….) têngêng kang susu, sin agêng (…ﺵ…) susu kang kiwa.

21.  Sad (…ﺹ…) lambung kang têngên nênggih, êdhot (…ﺽ…) lambung ingkang kiwa, te (…ﻁ…) kukulung ati nggonne, dha (…ﻅ…) ing jantung dunungira, ngain (…ﻉ…) pupu kang kanan, ghin (…ﻍ…) pupu kiwa dumunung, fe (…ﻑ…) suku têngên ênggonnya.

22.  Khaf (…ﻕ…) ing dhêngkul têngên nênggih, kaf (…ﻙ…) suku kiwa dunungnya, lam (…ﻝ…) ing wêtêng, min (…ﻡ…) otote, nun (…ﻥ…) balung, wawu (…ﻭ…) gigirnya, ehe (…ﻫ…) tlapakan kanan, lam-alip (…ﻻ…) dunungipun, aneng lathining manungsa.

23.  Ambyah (…ﺀ…) dhêngkul kiwa nênggih, ya (…ﻱ…) tlapakan ingkang kiwa, jangkêp sastra tridasane, mangkya rêringkêsanira, badane kang manungsa, ing saestunipun sampun, inggih angucap piyambak.
——————
*) Alip dumugi ya ing pada 19 dumugi 23, aksara Arab tigangdasa, panyêratipun Latin kirang cocok kaliyan ungêlipun, mila ing wingkingipun kasêrat aksara Arabipun ing kurungan (……) ingkang boten perlu kawaos. Aksara Arab wau ing buku aslinipun botên kaserat. Ing ngriki katambahakên murih cêthanipun.

24.  Makatên panabdaneki, Ashadu Allah illaha, Illa Allah de wijange, As kulit ha dagingira du gêtih, Allah, urat ilaha iku babalung, illa sungsum Allah utak.

25.  Manungsa kalamun guling, mangka matrapkên sukunya, kakalih dhinempetake, dumadi wujud sajuga, dlamakan kalih pisan, tinapakkên sikut kakalih tumumpang.

26.  Aneng ing prajaneki, asta kekalih kinêmpal, dados sajuga wujude, ingadêgakên sadaya, punika sampun tansah, anêbut ing namanipun, tuwin namaning Pangeran.

27.  Gumaluntung ingkang jalmi, punika mungêl Muhammad, dene pratingkahe sare, mungêl Asmaning Pangeran, Allah Pangeraningrat, kang murbeng pasthi satuhu, wijange kawikanana.

28.  Awit ing sirah dumugi, pungkasan ingkang jangga, aksara min (mim) awalane, pinêcah dumadya tiga, kêlênging kalih netra, manjing mring Dating Allahu, kang kalair sadayanya.

29.  Mênggah kajêngipun nênggih, dhatêng makripat mukadas, mungêl la ing grêbanane, mangkya awit ing pranaja, dumugi cêthikira, aksara ahe (ehe) punika, lajêng kawijang triwarna.

30.  Wujudipun khe manjing maring, Sipat Allah kang lair pan, dene punika kajênge, maring Kakekat mukadas, grêbanipun winawas, anênggih tan liyan namung, ing ungêlipun Illaha.

31.  Lajêng wit jênthik dumugi, ing dhêdhêngkul kering kanan, punika min (mim akirane, ugi einijang titiga, wujuding kang aksara, manjing maring Asma Allahu, ingkang kalair sanyata.

32.  Kajêngipun tan lyan maring, dhatêng tarekat mukadas, ginêrba ungêle, muhung maring lapal Illa, pungasan winursita, awit kakalih kang dhêngkul, dumugi driji dlamakan.

33.  Yeku aksara dal yêkti, lajêng kawijang titiga, wujuding kang aksarane, manjing mring Apêngal Allah kang, lair de kajêngnya, mring Sarengat mukadasu, grêbanipun mungêl Allah.

34.  Aturulun sampun titi, kawontênaning wasita, muhung amrih ywa tumpang so, winujudakên ing gambar, tinrapkên ing ron êtal, ciniren katranganipun, gambar kalih dyan binabar.

35.  Mawa cahya anêlahi pindha ulading (alading dahana, ubaling) dahana, surem Hyang Rawi sorote, binarung swara gurnita, kilat thathit liwêran, horêg sapta bantalaku, mêsês kanang bayu bajra.

36.  Lir kinêbur kang jaladri, pêthite Hyang Antaboga, kumitir horêg anggane, satêmah ingkang bantala, gonjang-ganjing ruhara, ardi Jamusdipa njêpluk (njêbluk), kadi papêdhut rinaras.

37.  Sang Bathara Odipati, Sang Rêsi Kanekaputra, miwah Sang Hyang Basukine, Hyang Rndra Hyang Panyarikan, wus sadaya tan kuwawa, anyêlaki gambar wau, lir sinambêr gêlap lêpat.

38.  Sadaya wus dhawah saking, palênggahan sowang-sowang, sumaput lir nir jiwane, muhung Sang Bathara Suman, tan owah dennya lênggah, gambar kalih dyang ranacut, wus sirna kang gara-gara.

39.  Nahên kang gumuling siti, pungun-pungun wus waluya, wangsul mring palênggahe, karsane Hyang Mahanasa, sadaya kang kawêdhar, dening Hyang Bathara Wisnu, dilalah samya kalepyan.

40.  Kadya anggane angimpi, wungu nendra tan kengêtan, dhumatêng ing supênane, muhung Sang Hyang Guirinata, jroning tyas gung ginagas, ginilut jumbuhing kawruh, tambah ingkang pangawikan.

41.  Mangkono Hyang Wisnu Murti, graiteng tyas datan samar, dhumatêng kaanane, pinunggêl kang pangandika, amangsuli pangiwa, mangkana ing aturipun, dhuh Hyang Hyang Padawinênang.

42.  Aturnya Kanekasiwi, myang Basuki Panyarikan, tanapi Endra ature, ingkang Makatên punika, inggih lêrês sadaya, nanging ing pamanggihulun, panggêlar panggulungira.

43.  Taksih tumpang so tan mathis, manawi ing wasitanya, guru ulun Sang kinaot, Ngusmanajid ingkang usman, asalipun manungsa, inggih saking hêb satuhu, tumurun pan dados cahya.

44.  Kasumupan ponang bumi, dahana maruta tirta, makatên mênggah dununge, jasat napsu napas rokyat (rohkyat), ingkang rumiyin dadya, ponang rohkyat napas napsu, kapat jasat kanthinira.

Pupuh 180
Kinanthi

1.      Sawêg samantên turipun, dennya mêdhar sabda rungsit, Hyang Guru aris ngandika, eh kulup bênêr sireki, apa tan unggul dahana, de sira unggulkên bumi.

2.      Luwih asor bumi iku, yêkti unggul ingkang agni, Hyang Wisnu matur manêmbah, sami lêrêsipun ugi, manawi bangsaning Ejan, linuhurkên ingkang agni.

3.      Awit asal saking latu, luhuripun saking jin, Banujan jin Idajila, ing srat Jitabsara sami, Sang Hyang Handyan Hayang Banujan, di Anjiyasmal jibai.

4.      Hyang Guru malih tanya rum, balik sira iku kaki, asalmu saka ing apa, Wisnu matur mangênjali, ulun manungsa kajiman, nanging luhur ingkang saking.

5.      Manungsa sayêktinipun, kaliyan kajiman mami, eh kulup apa ta nora, rumuhun bangsaning Ngêjin, lêrês pukulun punika, nanging tumtaping ring mami.

6.      Miwah sarira pukulun, punika rumiyin janmi, kang awit Dang Hyang Ad-Hama, Sang Hyang Siwa ingkang ugi, Nabi Sis minulya, punika manungsa jati.

7.      SarVng ing dumuginipun, Sang Hyang  Nurcahya ing ngarsi, nVnggih nama Sayid Anwar, lajêng Sang Hyang Nur-raseki, Sang Hyang Wênang Sang Hyang Tunggal, sirna kamanungsaneki.

8.      Jisim rohkani sadarum, tan katon dipuntingali, sarêng dumugi paduka, amêngku ing Alam kalih, sagêd botên katingalan, saged katingal ing jalmi.

9.      Amargi kanjêng pukulun, mangesthi sagêd ngratoni, manungsa lir Hyang Ad-Hama, Hyang Guru ngandika malih, bênêr kaya tekatira, amung kanggo mênang êndi.

10.  Tekatira kang saestu, apa manungsa apa jin, Sang Hyang Wisnu aturira, ulun angge lair batin, ing batin manungsa-tama, ing lairipun pan êjin.

11.  Wit ulun urutkên estu, asale jiwa rageki, kamanungsan ulun asal, saking luluhur pribadi, mila kangge kabatinan, amarga jalu pinasthi.

12.  Dados lalantaranipun, kang wontênkên *) (ngawontênakên) jiwa mami, mênggah kajiman kawula, saking ing leluhur estri, kang awit Sang Hyang Nurcahya, kamantu dening Raja Jin.

13.  Mila punika pukulun, kawula anggêp ing lair, eh kulup têlênging tekat, apa ora anêtêpi, babasan kabali sura, myang sungsang bawana balik.

14.  Bathara Wisnu turipun, boten ing saestu neki, ing ngandhap ing nginggil kebalt,  kawêngku ing têngah awit, wontênipun winastanan, ing ngandhap tuwin ing nginggil.

15.  Yeku ancêr-ancêipun, wontên ing manungsa jati, Sang Hyang Guru duk myarsa, asru karênaning galih, babo atmajengsun Suman, sira angunggal pangesthi.

16.  Kalawan ing jênêng-ingsun, mangkya sira su wêwahi, paparaba Narayana, mratandhani kahananing, sira manungsa sanyata, Sang Hyang Wisnu mangastuti.

17.  Para jawata sadarum, abipraya nêmbadani, sasampunira mangkana,  Sang Hyang Wisnu nulya kardi, ekal cakra dadya tandha, bundêring santoseng ati.

18.  Nahan ta Bathara Guru, sawusira amiyarsi, ature kadang dewa, lan putra Bathara kalih, tyas langkung marwata suta, sinung ilhaming Hyang Widhi.

19.  Sadaya sampun kacakup, datan ana ingkang cicir, dhawuh wijiling kang sabda, kadang dewa sadayeki, myang putranipun bathara, ing samangkya karsamami.

20.  Kumpulung kawruh sadarum, ingsun dadekkên sawiji, minangka wawatoning kang, kawruh kadeatan adi, dadiya gêbênganira, suteng-ulun Endrapati.

21.  Nanging ingsun kêkêr kukuh, sarta ingsun waranani, lawan hya kongsi kajambar, sadhengahing manungseki, supayane iku haywa, madhehkên ing Jawata di.

22.  Marmane manira asung, pralambang iku yen bangkit, iya dadya manrimanya, ingkang sarta banjur dadi, ing Sanstra Cêtha priyangga, ing sadurungira dadi.

23.  Ing Sastra Cêtha puniku, apan ta ingsun-aranni, Sastra jendra ayuninrat, pangruwat diyu rasêksi, wanara salaminira, dêlahan nunggal jalma-di.

24.  Iku ta ing lairipun, dadiya ambêk bumi, mungguh ta ing kabatinan, dumadiya pancadaning, sangkan paraning dumadya, nunggal kawula lan Gusti.

25.  Mratandhanana saestu, kanugrahan ingkang dhingin, limang ukara kehira, dumadi ambêgireki, mungguh ta ingkang ingaran, Panca purwanda pangrawit.

Pupuh 181
S i n o m

1.      Kang dhingi ambêging surya, kapindho ambênging bumi, katri ambêging maruta, catur ambêging jaladri, panca ambêging langit, ing sapangkat maneh iku, aran Panca Dumadya, iku kadadyanireki, apan uga tumangkar limang prakara.

2.      Kang dhingi babaring tigan, dwi lêpasing sastra-lungit, tumamaning punglu tri-nya, catur pêdhang lumaraping, lima rêmbêsing warih, ing sapangkat maneh iku, aran Panca Pranata, dadi pratandhanireki, apan uga tumangkar limang prakara.

3.      Mandhêg iku kang kapisan, angkêr ingkang kaping kalih, sumunu kang kaping tiga, sumulap kaping patneki, mamarap ping limeki, dadi tri golonganipun, lah para kadang dewa, lan putra bathara kalih, kono padha surasanen tranging nala.

4.      Kadiparan karêpira, lawan kadadeyaneki, nahên para kadang dewa, lositanireng panggalih, bangkit mbabarkên nanging, tan sagêd panangkaripun, tuwin kakalih putra, asagêd mêcah ananging, tan kuwawa maradhahi kang surasa.

5.      Sadaya matur sumangga, Hyang Guru ngandika malih, eh kadangingsun pra dewa, lan putraningsun kalih, marmanira sireki, ywa ngaku pintêr kalangkung, mundhak kablingêr padha, kang awit babasaning ling, jalma pintêrpasthi kasor dening jalma.

6.      Kang sugih pratikel tatas, de jalma pratikel awig, kasor dening jalma ingkang, inggil luhur misesani, margi margi kang Murbeng pasthi, anamtokkên jênêngingsun, ginadhuhan wisesa (ginadhukan kang wisesa), lwih kuwasa jênêngmami, sumurupa duninunging andikaningwang.

7.      Mungguh abênging kang surya, amongat têmbungireki, jarwane among samoa, awit ta ananing rawi, tansah angon sakalir, ngulatkên sakeh tumuwuh, tumrape mring pambêgan, eling dene dunungneki, ing pramana dadi nora kasamaran.

8.      Ambeging bumi winarna, sun-têbungkên amot yêkti, karêpe amot sadhengah, dene kaananing bumi, bobot sakeh dumadi tumraping, pambêkan bakuh, dununge ing jatmika, sarira antêng tyas mintir, ing wasana dadi nora berabeyan.

9.      Ambêking kanang maruta, sun-têmbungkên kamrat yêkti, karêpe kamot sabarang, dene kaananing angin tansah katadhah dening, samoaning kang tumuwuh, tumrape mring pambêkan, têmên dene dunungneki, aring ingkang napas dadi tan ndaleya.

10.  Nahan ambêking sagara, sun-têbungakên mamrat yêkti, karêpe momot tan wêgah, kaananing kang jaladri, tan nampik datan milih, sasarah tumaneng laut, tumrap pambêkan sabar, neng rêrêming rasa jati, dadi nora pradulen sugih waonan.

11.  Kanang ambêking akasa, sun-têmbungkên mangkyat nênggih, kaêpe pamêngka ika, dene kaananing langit, datan sah  angaubi, saisining ngrat kawêngku, tumrap ambêg santosa, dumunung sarehing kapti, dadi nora gimirên karêp sadhengah.

12.  Lah ta padha kawruhana, kumpule pambêkan gati, among amot kamot miwah, momot mêngku jangkêpneki, dene tumrapireki, pambêkan lilima iku, eling têmên mantêp lan, sabar santosaning ati, de dununge pambêkan limang prakara.

13.  Pramana jatmika ing tyas, aringing napasireki, kalawan rêrêming rahsa, sareh ing karsa mumpuni, mungguh dadinireki, pambêkan lilima mau, tan samar tan dahwenan, tan sêmbrana lawan malih, tan panasan tan gimiran pungkasannya.

14.  Mêdhar kang Panca Dumadya, limang ukara ginupit, angin babaring antiga, nalika ingsun arani, têtêp karêpireki, tetela ing ananipun, têtêp dadining gêsang, kawahana tandhaneki, de tandhane iku ana ing pangrasa.

15.  Pindho lêpasing kang manah, ramatas ingsun arani, karêpe tatas naratas, yeku têdhas anêdhasi, satuhu anêtêpi, sangkan paraning tumuwuh, dene ta pratandhannya, sonya ruri anartani, nyatanira ing pamyarsaning kang karna.

16.  Kaping tri tumamanira, punglu mamis sun arani, tumêlêng karêpe apan, patitis iku ngencoki, datansah anêtêpi, marang dudununganipun, tumanêm pratandhanya, nyatane lungguhireki, aneng lathi iya iku pamicara.

17.  Kaping pat laraping pêdhang, maratas ingsun arani, karêpe mring kaputusan, pêgat tanpa kiwir-kiwir, babarpisan nêtêpi, tandha kasampurnanipun, nyatane ing pangganda, arum bangêr amis bacin, arum sêdhêp kanyataan saka grana.

18.  Ping lima rêmbêsing toya, tumuhas ingsun arani karêpê tumus arabas, iku têrus anêrusi, dene ptatandhaneki, linggabathara satuhu, jumênêng batharanya, mungguh kanyataaneki, ing paningal jangkêp kang Panca dumadya.

19.  Kumpule kadadyan lima, têtêp tatas sarta titis, putus tumus sah lilima, gênahe lilima maring, tetela têdhas tuwin, angincoki pêgatipun, kanyataaning lima, kawahana sunyaruri, myang tumanêm sampurna lingga-bathara.

20.  Nyatane ing kadadeyan, lilima tan liyan maring, pangrasa ingkang kapisan, ing karna kang kaping kalih, ing lesan kaping katri, ing grana kang kaping catur, ing paningal ping  gangsal, kadang dewa putra sami, sru katrêsnan umatur kalajêngêna.

21.  Odipati mêdhar sabda, prabawa limang prakawis, nahan landhêp kang kapisan, iku sun arani lêngit, marang singit karêmpit, karêpira iya iku, mamêdeni wong kathah, dene wus anjumbuhi, kalawan Hyang Maha Suksma Kang Kawêkas.

22.  Wus anunggal sakaanan, sarira suksma pribadi, kapindhone kawaskitan, wikan purwaning dumadi, ing agal miwah rêmit, sawujud Bathara Luhung, akaprabawan saka, waskithanireng panggalih, kaya-kaya uning sadurung winahya.

23.  Sumunu kang kaping tiga, iku lênyêp sun arani, karêpe wingit sanyata, antêng ruruh anyênênni, de wus nugraha jati, Bathara ingkang linuhung, kaprabawanan saka, sarwa dyatmika ing budi, nênging(~) nala nêrusi marang sarira.

24.  Sumulap ingkang kaping pat, lêmarap ingsun arani, angulapi karêpira, iya iku (m)balêrêngi, kang mandêng tan kuwawi, dene ta uwus saestu, rikang sotya-bathara, awit kaprabawan saking, anarawang sadaya sarwa pramana.

25.  Mamarap kang kaping lima, lêmahab ingsun arani, maladi karêpe ika, iya iku angurubi, dene ta wus linêwih, sajiwa bathara iku, wus kaprabawan saka, sarwa wibawa wiryadi, uwus ganêp prabawa limang prakara.

26.  Kumpule prabawa lima, juga lungit kadwi wingit, tri wingit ngulabi warna, kaping limane maladim gênahe prabaweki, kang sapisan iku alus, mêdeni kapindhonya, kaping trine anyênêni, pat (m)blêrêngi amaladi limanira.

27.  Prabawa ingkang prabawa, waskitha ingkang rumiyin, pangrasa ping kalihira, dyatmika kang kaping katri, pramana caturneki, wibawa ping limanipun, atusing pangandika, -nira Sang Hyang odipati, myang pra dewa dyan muksa mring pakayagan.

28.  Mangkane kang Sastra Cêtha, mungguh Panca purwandeki, bumi gêni angin toya, dadi jasate kang jalmi, langit ngibaratneki, ing alam suwung sathu, dene wus kanyataan, amêngkoni ing dumadi, de karêpe batin mêngku kalairan.

29.  Dene ta Panca dumadya, Pancadriya dunungneki, pangraos ingkang sapisan (˚) pamyarsa kang kaping kalih, pangucap kang kaping tri, pangganda kang kaping catur, paningal kang kaping lima, sadayeku padha dadi, trêsandhaning uripe ingkang manungsa.

30.  Mungguh kang Panca prabawa, puniku amratandhani, katarimaning manungsa, katarimaning manungsa, katingaling sarira di, waskitha têgêsneki, lêrêsing pramana estu, pangrasa têgêsira, lêpasing karya sayêkti, pramana pan lêpasing pandulunira.

31.  Dyatmika ing têgêsnira, sênênning cahya mranani, wibawa têgêse apan, mêngku sakeh raos jati, pinetak lima malih, sarira-bathara iku, uwus abadan budya, sawujud bathara nênggih, satuhune uwus nunggal warna rupa.

32.  Nugraha bathara ika, uwus ênêng sarta êning, netra-bathara iku apan, uwus linêpas ing budi, sajiwa-bathara di, wus langgêng kaananipun, kawula Gusti nunggal, lah anakmas wus baresih, Sastra Jendra unggahe mring Sastra Cêtha.

Nyuwun agunging samudra pangaksama dumateng sadaya para sarjana ugi pinisepuh mugi purun nampi keladhug kurang trapsilaning pun Kumitir sampun kumalancang wantun ngedalaken kawruh ingkang sinengker punika, Kumitir namung sadermi ngleruri kabudayan Jawi paribasan : ‘canthing jail dicidhukna banyu segara olehe iya mung sathithik, lowung dene taksih saged nyidhuk, sanadyan namung saisining canthing jail, tinimbang suwung blung. Sampun titi tamat wedharing kawruh Sastra Jendra Hayuningrat menggah unggahing mring Sastra Cêtha, tumplêg ing maknawi kinarya lalantaran ing agêsang wus anyêkapi, mugiya tansah angsal kanugrahan saking ngarsaning Hyang Murbeng Gesang. Rahayu.

Sumber  :
Serat Centhini Jilid III, Pupuh 177 dumugi Pupuh 181. Yasandalemm KGPAA Amengkunagara III (Ingkang Sinuhun Paku Buwana V) ing Surakarta. Kalatinaten Miturut Aslinipun dening : Kamajaya. Penerbit Yayasan Centhini, Yogyakarta 1986.


Baca Selengkapnya...

________________________________________